Friday, June 23, 2017

Doa Bagi Yang Membayar Zakat

Disunnahkan bagi orang yang menerima zakat untuk mendoakan muzakkinya (orang yang membayarkan zakat). Ini berdasarkan firman Allah Subahanahu wa Ta'ala,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan doakanlah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Taubah: 103)

Maksudnya doakan kebaikan untuk mereka –kaum mukminin secara umum- khususnya saat mereka membayarkan zakat harta mereka. Karena doa kebaikan tersebut lebih membuat tenang dan gembira hati mereka.

Perintah ini berlaku bagi orang yang bertugas menerima zakat. Dalam konteks zakat fitrah ini, panitia penerima zakat masuk di dalamnya. Kemudian, adakah lafadz doa khusus berkaitan doa untuk pembayar zakat?

Tidak ada doa khusus untuk orang yang membayarkan zakat. Kalau ada orang yang mendoakan dengan doa diterimanya amal sholeh seperti di QS. Al-Baqarah: 127,

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahu,” maka itu baik.

Boleh juga dengan mendoakan shalawat untuk muzakki sebagaimana yang tertera di Shahihain, dari Abdullah bin Abi Aufa berkata: apabila ada kaum yang datang ke Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam membawa sedekah mereka, maka beliau berdoa:

 اللهم صلِّ على آل فلان

“Ya Allah limpahkan shalawat (ampunan) untuk keluarga si fulan.”

Maka tatkala ayahnya menyerahkan sedekahnya kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam -untuk disalurkan,-Pent-, berdoa:    

اللهم صل على آل أبي أوفى

“Ya Allah, limpahkan shalawat (ampunan) untuk keluarga Abi Aufa.”

Imam Muslim membuat bab dalam Shahihnya untuk hadits ini,

  باب الدعاء لمن أتى بصدقته

“Bab Doa bagi orang yang membawa (menyerahkan) sedekahnya.”

Imam al-Syafi’i menyukai doa untuk orang yang menyerahkan sedekahnya,

آجَرَكَ اللهُ فِيْمَا أَعْطَيْتَ وَجَعَلَهُ لَكَ طَهُوْرًا وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا أَبْقَيْتَ

“Semoga Allah memberi pahala untukmu pada harta yang engkau berikan, menjadikannya sebagai penyuci untuk dirimu, dan memberkahi untuku pada harta yang masih bersamamu.”

Boleh juga dengan doa-doa kebaikan lainnya semisal, Jazakallahu Khaira (semoga Allah balas engkau dengan lebih baik).

Perlu diingat, doa ini bukan syarat sahnya zakat seseorang. Ini hanya sunnah saja untuk kebaikan orang yang menunaikan zakat. Jika tanpa didoakan maka zakatnya tetap sah. Wallahu A’lam

Semoga bermanfaat.
   

Thursday, June 22, 2017

Penting...! Pembahasan Seputar Zakat Harta

URGENSI ZAKAT

Menunaikan zakat termasuk rukun Islam yang lima. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ لِمَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Islam dibangun di atas lima rukun: Syahadat laa ilaaha illallah dan Muhammad Rasulullah, menegakkan sholat, mengeluarkan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan haji ke baitullah bagi yang mampu melakukan perjalanan ke sana.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma]

MANFAAT ZAKAT

Mengokohkan pilar-pilar kecintaan antara si kaya dan si miskin, karena karakter jiwa manusia selalu mencintai orang yang berbuat baik kepadanya.

Membersihkan dan mensucikan hati, sehingga jauh dari sifat kikir dan bakhil, sebagaimana firman Allah ta’ala,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” [At-Taubah: 103]

Melatih diri untuk bersifat dermawan, murah hati dan berkasih saying kepada mereka yang membutuhkan.

Mendulang berkah, tambahan rezeki dan penggantian dari Allah, sebagaimana firman-Nya,

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah sebaik-baik Pemberi rezeki.” [Saba’: 39]

Dalam hadits qudsi, Allah ta’ala berfirman,

يَا ابْنَ آدَمَ أَنْفِقْ أُنْفِقْ عَلَيْكَ

“Wahai anak Adam bersedekahlah, niscaya Kami akan bersedekah kepadamu.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

BAHAYA MENINGGALKAN ZAKAT

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ  يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak, dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka jahanam lalu dibakar dengannya dahi, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang kamu simpan itu.” [At-Taubah: 34-35]

Setiap harta yang tidak ditunaikan zakatnya itu termasuk kanzun (simpanan harta yang tidak dikeluarkan zakatnya) yang menyebabkan azab atas pemilik harta tersebut pada hari kiamat, sebagaimana ditunjukkan oleh sebuah hadits yang shahih dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ، لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا، إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ، صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ، فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ، فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ، كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ، فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ، حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ، فَيَرَى سَبِيلَهُ، إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِمَّا إِلَى النَّارِ

“Tidaklah seorang pemilik emas dan tidak pula perak yang tidak menunaikan haknya, kecuali apabila datang hari kiamat akan dibentangkan baginya batu-batu yang lebar dari api neraka, lalu batu-batu itu dipanaskan di neraka jahannam, lalu disetrika perut, dahi dan punggungnya, setiap kali sudah dingin akan dikembalikan seperti semula, dalam satu hari yang ukurannya sama dengan 50.000 tahun, sampai diputuskan perkara di antara manusia, lalu ia melihat jalannya, apakah ke surga atau ke neraka.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu’anhu]

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga pernah menyebutkan tentang seorang pemilik unta, sapi dan kambing yang tidak mengeluarkan zakatnya, maka ia akan diazab dengan harta miliknya pada hari kiamat. Dan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا، فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ مَالُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ لَهُ زَبِيبَتَانِ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ، ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ – يَعْنِي بِشِدْقَيْهِ – ثُمَّ يَقُولُ أَنَا مَالُكَ أَنَا كَنْزُكَ، ثُمَّ تَلاَ: (لَا يَحْسِبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ) ” الآيَةَ

“Barangsiapa yang Allah berikan harta namun ia tidak menunaikan zakatnya maka pada hari kiamat nanti hartanya akan dirubah wujud menjadi ular botak yang mempunyai dua titik hitam di kepalanya, yang akan mengalunginya kemudian mengambil dengan kedua sisi mulutnya seraya berkata: ‘Aku adalah hartamu, aku adalah simpananmu’. Kemudian beliau membaca ayat: Janganlah sekali-kali orang-orang yang bakhil dengan harta yang telah Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya itu menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka, sebenarnya bahwa kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka, harta-harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di lehernya kelak di hari kiamat.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu’anhu]

HARTA YANG DIWAJIBKAN ZAKAT

Zakat diwajibkan atas empat macam harta:

1) Harta yang keluar dari bumi, dari jenis biji-bijian dan buah-buahan.

2) Hewan ternak yang digembalakan (yaitu unta, sapi, kambing dan yang sejenisnya).

3) Emas dan perak, termasuk uang dan perhiasan wanita.

4) Barang dagangan.

NISHOB DAN HAUL ZAKAT

Bagi setiap harta tersebut ada nishob, yaitu jumlah minimal harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, sehingga tidak wajib zakat apabila belum mencapai nishobnya.

Adapun haul maknanya adalah telah dimiliki selama satu tahun, ini adalah syarat wajib zakat untuk emas, perak, uang, perhiasan wanita dan barang dagangan.

Apabila harta tersebut telah mencapai nishob dan haul maka wajib dikeluarkan zakatnya, jika belum sampai nishob maka tidak diwajib zakat, demikian pula jika sebelum satu tahun kemudian berkurang dari nishob juga tidak wajib zakat. Tetapi tidak boleh seseorang membelanjakan hartanya sebelum sampai setahun sehingga berkurang dari nishob dengan maksud menghindari kewajiban zakat, namun jika dibelanjakan karena suatu keperluan maka tidak apa-apa.

PERINCIAN NISHOB ZAKAT

1. ZAKAT PERTANIAN

Biji-bijian dan buah-buahan nishobnya 5 wasaq, sedangkan 1 wasaq sama dengan 60 sho’, dan 1 sho’ adalah 4 mud, yaitu 4 cidukan dua tangan orang dewasa yang ukurannya sedang dan kedua tangannya terisi penuh.

Dalam perhitungan saat ini 1 sho’ senilai kurang lebih 3 kg, maka nishob zakat pertanian adalah 60 sho’ x 5 wasaq x 3 kg, hasilnya adalah 900 kg, inilah nishob zakat pertanian.

Maka ketika hasil pertanian seseorang telah mencapai 900 kg, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 1/10 atau 10 % jika pertaniannya menggunakan air tanpa biaya dan beban. Apabila menggunakan air dengan biaya dan beban maka yang dikeluarkan hanya separuhnya saja, yaitu 1/20 atau 5 %.

Adapun jika menggunakan irigasi buatan maka perlu perincian, jika irigasi tersebut dibuat oleh Pemerintah dan dipakai gratis tanpa adanya beban oleh para petani maka zakatnya adalah 10 %, sedangkan jika Pemerintah menarik biaya atau irigasi tersebut dibuat sendiri oleh petani maka zakatnya sebesar 5 %.

Jenisnya adalah kurma, kismis (anggur kering), gandum, beras, biji gandum dan yang semisalnya. Adapun waktu mengeluarkan zakatnya adalah ketika panen.

2. ZAKAT PETERNAKAN

Hewan ternak yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah unta, sapi (termasuk kerbau) dan kambing atau domba. Kerbau wajib dikeluarkan zakatnya sebagaimana sapi, berdasarkan ijma’.[2]

Syarat-syarat Wajibnya Zakat Peternakan:

1. Mencapai nishob.

2. Mencapai haul.

3. Diternak untuk dikembangkan (apakah untuk digemukkan, dikembangbiakkan ataukah untuk diambil susunya), bukan untuk dipekerjakan atau dijual, jika untuk dipekerjakan seperti untuk membajak sawah atau disewakan mengangkut barang maka tidak ada zakat, dan jika untuk dijual maka masuk ke zakat perdagangan.

4. Digembalakan di padang rumput dan memakan rerumputannya secara gratis sepanjang tahun atau kebanyakannya; sepanjang tahun artinya setahun penuh, kebanyakannya artinya lebih dari 6 bulan. Adapun hewan yang dikurung dan makanannya dicarikan atau dibelikan maka tidak diwajibkan zakat, namun secara umum dianjurkan untuk bersedekah.

(Lihat Tabel Zakat Pertanian di web kami atau di buku kami yang berjudul Madrasah Ramadhan)

3. ZAKAT PERAK

Nishob perak adalah 200 dirham, yaitu senilai 595 gram.[3]

4. ZAKAT EMAS

Nishob emas adalah 20 dinar, yaitu senilai 85 gram.[4]

Maka apabila seseorang memiliki emas minimal sebanyak 85 gram atau perak sebanyak 595 gram wajib atasnya mengeluarkan zakat sebanyak 1/40 atau 2,5 % dari harta emas atau perak yang ia miliki apabila telah genap satu tahun dalam kepemilikannya.

Apabila harta seseorang telah mencapai nishob, kemudian pada pertengahan tahun ia mendapatkan tambahan-tambahan harta, maka jika telah sampai setahun hendaklah ia mengeluarkan zakat dengan menghitung keseluruhan hartanya. Jadi, tambahan-tambahan harta di pertengahan tahun tersebut dihitung bersama harta yang telah dimiliki dari awal tahun yang telah mencapai nishob sebelumnya, tanpa membuat penghitungan dari awal tahun yang baru.

5. ZAKAT UANG

Uang kertas yang hari ini digunakan manusia hukumnya sama dengan emas dan perak, baik disebut dirham, dinar, dolar atau selain itu, hukumnya sama saja jika nilainya telah mencapai seperti nishobnya perak atau emas, dan telah lewat satu tahun kepemilikannya, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Dan hendaklah nishob uang mengikuti yang paling rendah nilainya apakah emas atau perak, jika diuangkan.

Contoh: Apabila harga perak Rp. 5.000 per gram dan nishob adalah 595 gram, maka nishob uang adalah Rp. 5.000 x 595 = Rp. 2.975.000. Maka apabila seseorang telah memiliki uang sejumlah tersebut atau lebih dan telah dimilikinya selama satu tahun maka wajib atasnya mengeluarkan zakat sebesar 2,5 %.

Akan datang pembahasan lebih detail insya Allah dalam pasal Cara Menghitung Zakat Emas, Perak dan Uang.

6. ZAKAT PERHIASAN EMAS DAN PERAK

Perhiasan wanita berupa emas dan perak juga wajib zakat apabila telah mencapai nishob dan telah lewat satu tahun dalam kepemilikannya, menurut pendapat yang paling kuat dari dua pendapat ulama dalam masalah ini, berdasarkan keumuman hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ، لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا، إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ، صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ

“Tidaklah seseorang yang memiliki emas atau perak kemudian tidak ditunaikan haknya, apabila datang hari kiamat dibentangkan baginya batu-batu yang lebar dari api neraka.” [HR. Muslim Abu Hurairah radiyallahu’anhu]

Dan juga berdasarkan hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada seorang wanita,

أَتُعْطِينَ زَكَاةَ هَذَا؟ قَالَتْ: لَا، قَالَ: أَيَسُرُّكِ أَنْ يُسَوِّرَكِ اللَّهُ بِهِمَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ سِوَارَيْنِ مِنْ نَارٍ؟، قَالَ: فَخَلَعَتْهُمَا، فَأَلْقَتْهُمَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَالَتْ: هُمَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ

“Apakah engkau telah mengeluarkan zakat perhiasan ini? Wanita tersebut menjawab, ‘Tidak’. Beliau pun bersabda, ‘Apakah engkau ingin dipakaikan Allah pada hari kiamat dengan dua gelang dari neraka?’ Maka wanita itu langsung melemparnya seraya berkata: Kedua gelang itu untuk (disedekahkan di jalan) Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya.” [HR. Abu Daud dan An-Nasai, dengan sanad yang hasan, dihasankan Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahulllah]

Dan dari Ummu Salamah radiyallahu’anha, beliau berkata,

كُنْتُ أَلْبَسُ أَوْضَاحًا مِنْ ذَهَبٍ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَكَنْزٌ هُوَ؟ فَقَالَ: مَا بَلَغَ أَنْ تُؤَدَّى زَكَاتُهُ، فَزُكِّيَ فَلَيْسَ بِكَنْزٍ

“Aku pernah mengenakan perhiasan emas, aku pun berkata: Wahai Rasulullah, apakah ini termasuk kanzun (simpanan harta yang dilarang), Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: Jika telah memenuhi syarat untuk dikeluarkan zakatnya lalu dikeluarkan zakatnya, maka tidak termasuk kanzun.” [HR. Abu Daud, dishahihkan Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahulllah]

7. ZAKAT BARANG DAGANGAN

Nishob barang dagangan juga disamakan dengan nishobnya salah satu dari emas dan perak, dipilih mana yang paling rendah nilainya apabila diuangkan. Maka barang-barang yang dipersiapkan untuk dijual harus dihitung pada akhir tahun dan dikeluarkan zakatnya sebanyak 1/40 atau 2,5 % dari nilainya, berdasarkan hadits Samurah radiyallahu’anhu, beliau berkata,

أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ

“Amma ba’du, sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari harta yang kami persiapkan untuk dijual.” [HR. Abu Daud, dishahihkan Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahulllah]

Kewajiban zakat ini juga mencakup barang-barang yang dipersiapkan untuk dijual seperti tanah, bangunan, mobil, dan lain-lain.

8. ZAKAT HARTA YANG DISEWAKAN

Bangunan yang disewakan maka kewajiban zakat ada pada uang dari hasil penyewaannya jika mencapai nishob dan telah lewat setahun dalam kepemilikan. Adapun pada barang itu sendiri maka tidak ada kewajiban zakatnya, karena tidak dipersiapkan untuk dijual.

Demikian pula mobil pribadi maupun mobil yang disewakan, tidak ada kewajiban zakat atasnya apabila tidak dipersiapkan untuk dijual tetapi dibeli oleh pemiliknya untuk digunakan.

Akan tetapi apabila terkumpul bagi pemilik mobil itu uang hasil disewakannya mobil tersebut atau uang apa pun yang telah mencapai nishob maka wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah lewat setahun dalam kepemilikan, baik uang tersebut dipersiapkan untuk nafkah, menikah, untuk dibelikan perabot rumah, untuk dibayarkan hutang maupun untuk selainnya, berdasarkan keumuman dallil-dalil syar’i yang menunjukkan kewajiban zakat dalam permasalahan seperti ini.

9. ZAKAT HARTA ORANG YANG BERHUTANG

Pendapat yang benar dari beberapa pendapat ulama adalah: Hutang tidak menghalangi zakat. Apabila seseorang memiliki harta yang mencapai nishob dan haul maka wajib dikeluarkan zakatnya walau ia memiliki hutang, dan harta tersebut dipersiapkan untuk bayar hutang, berdasarkan keumuman dalil-dalil yang mewajibkan zakat tanpa mengecualikan orang yang berhutang.

10. ZAKAT HARTA ANAK YATIM DAN ORANG GILA

Harta anak yatim dan orang gila wajib dikeluarkan zakatnya menurut pendapat jumhur ulama, jika telah mencapai nishob dan telah lewat satu tahun dalam kepemilikan. Wajib bagi para walinya untuk mengeluarkan zakat harta mereka dengan meniatkannya dari mereka, ketika telah sempurna satu tahun, berdasarkan keumuman dalil, seperti sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits Mu’adz radhiyallahu’anhu ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengutus beliau ke negeri Yaman,

أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“Bahwa Allah mewajibkan zakat atas kaum muslimin pada harta-harta mereka, diambil dari orang-orang kaya mereka dan diserahkan kepada orang-orang fakir mereka.” [HR. Al-Bukhari dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma]

ORANG-ORANG YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT

Zakat adalah hak Allah ta’ala, tidak boleh diberikan kepada orang yang tidak berhak menerimanya. Tidak boleh dikeluarkan dalam rangka mendapatkan suatu manfaat atau menolak suatu mudhorat, atau sekedar melindungi hartanya dan menghindari celaan, akan tetapi wajib atas seorang muslim memberikan zakatnya kepada yang berhak menerimanya dengan hati yang lapang dan ikhlas karena Allah ta’ala, bukan karena tujuan lain, yang dengan itu berarti ia telah memenuhi kewajibannya dan berhak mendapatkan pahala yang besar serta ganti yang lebih baik dari Allah ta’ala.

Orang-orang yang berhak menerima zakat ada delapan golongan:

1. Fakir

2. Miskin

3. Amil zakat

4. Muallaf

5. Budak yang mau membebaskan diri

6. Orang yang berhutang

7. Orang yang berada di jalan Allah

8. Musafir.

Allah ta’ala telah menjelaskan dalam kitab-Nya yang mulia tentang golongan-golongan penerima zakat ini,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, budak (yang mau memerdekakan diri), orang-orang yang berhutang, orang yang sedang di jalan Allah dan musafir, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Hikmah.” [At-Taubah: 60]

Ayat yang mulia ini ditutup dengan dua nama Allah ta’ala yang agung, yaitu Maha mengetahui dan Maha Hikmah, sebagai peringatan dari Allah subhanahu wa ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya bahwa Allah ta’ala Maha Mengetahui keadaan para hamba dan siapa saja yang berhak dan yang tidak berhak menerima zakat.

Dan Allah ta’ala Maha Hikmah dalam syari’at-Nya dan ketentuan-Nya, maka tidaklah Allah ta’ala meletakkan sesuatu kecuali pada tempatnya yang layak, meskipun sebagian dari rahasia-rahasia hikmah Allah ta’ala tersebut tersembunyi dari sebagian manusia. Dan semua hikmah-hikmah itu agar para hamba tenang dengan syari’at-Nya dan tunduk dengan hukum-Nya.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

————————

[1] Diringkas dengan penambahan dari Ar-Risaalatul Ula fi Buhuutsin Haammatin haulaz Zakati, dari kitab Risaalataani Maujizataani fiz-Zakaati wash-Shiyaam karya Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah.

[2] Lihat Al-Imam Ibnul Mundzir dalam Al-Ijma’, hal. 90, sebagaimana dalam At-Ta’liq ‘Ala Kitabiz Zakati was Shiyam, hal. 23.

[3] Lihat Taudihul Ahkam, 3/319 dan Al-Adilatur Rhodiyyah, hal. 123.

[4] Lihat Taudihul Ahkam, 3/319 dan Al-Adilatur Rhodiyyah, hal. 123.

Semoga bermanfaat.

Wassalam

Doa Malam Lailatul Qodr

Faedah Ta'lim yang di bawakan oleh Ust Khaidir Hafidzahulloh  saat menjelang shalat isya.

Doa saat terjadi malam Lailatul Qodr

Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha berkata,

يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ وَافَقْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ مَا أَدْعُو؟ قَالَ: تَقُولِينَ: اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

“Wahai Rasulullah, doa apakah yang aku baca apabila aku mendapati lailatul qadr? Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: Engkau mengucapkan,

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

‘Allahumma innaka ‘Afuwwun tuhibbul ’afwa fa’fu anniy’ (Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi mencintai pemaafan, maafkanlah aku).” [HR. Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah, Ash-Shahihah: 3337]

Dalam beberapa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
menggandengkan  Al 'Aff dengan Al 'Aafiyah

Al 'Aafiyah secara umum artinya seorang hamba di bela di tolong di selamatkan  oleh Allah Ta'ala di dunia , di barzah dan akhirat dari bahaya apapun

Imam Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari al-Abbas bin Abdul Mutholib radhiyallahu 'anhu, ia berkata : "Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, ajarkanlah aku doa yang aku panjatkan kepada Allah.' Beliau bersabda : 'Mintalah keselamatan kepada Allah.' Selang beberapa hari, aku datang kembali dan berkata,'Wahai Rasulullah, ajarkanlah aku doa yang aku panjatkan kepada Allah.'
Beliau bersabda :

ﻳﺎ ﻋﺒّﺎﺱ , ﻳﺎ ﻋﻢّ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠّﻪ , ﺳﻞ ﺍﻟﻠّﻪ ﺍﻟﻌﺎﻓﻴﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭ ﺍﻻَﺧﺮﺓ
'Hai 'Abbas, hai paman Rasulullah, mintalah keselamatan di dunia dan di akhirat kepada Allah,'"
[HR. Tirmidzi no. 3745, dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmdzi III/170]

Dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu, bahwasanya ada seorang yang datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan bertanya: Ya Rasulullah, doa apa yang paling afdhal? Beliau menjawab: "Mintalah kepada Allah al 'Aafiyah (terbebas dari masalah) di dunia dan akhirat." Kemudian besoknya dia datang lagi dan bertanya: Wahai Nabi Allah, doa apa yang paling afdhal? Beliau menjawab: "Mintalah kepada Allah al afiyah (terbebas dari masalah) di dunia dan akhirat. Karena jika engkau diberi al afiyah di dunia dan akhirat berarti kamu beruntung."
(HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad dan dishahihkan Al Albani).

Malam lailatul Qadr lebih baik dari  1000 bulan ini maknanya lebih baik beramal dari 1000 bulan. dan ini ukuran terkecilnya ( batas yang paling rendah ) yang batasan tertingginya  hanya Allah Ta'ala yang tau.
Ini berjenjang jenjang tergantung pada kekuatan keimana keikhlasan , rasa cinta takut dan harapannya kepada Allah , di tentukan pula dengan doa yang di gunakan di malam Lailatul  Qadr  sebagaimana yang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam  tuntunkan.

Wallahu 'alam
Tolong di koreksi kesalahan penulisan

Semoga bermanfaat.

Monday, June 5, 2017

Ucapan Idhul Fitri Yang Benar Sesuai As-Sunnah

Oleh : Penulis: Ust. Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A.

Sehubungan dengan akan datangnya Idul Fitri, sering kita dengar tersebar ucapan:

“MOHON MAAF LAHIR & BATHIN ”

Seolah-olah saat Idul Fitri hanya khusus untuk minta maaf.

Sungguh sebuah kekeliruan, karena Idul Fitri bukanlah waktu khusus untuk saling maaf memaafkan.

Memaafkan bisa kapan saja tidak terpaku dihari Idul Fitri...

Demikian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,, mengajarkan kita

Tidak ada satu ayat Qur'an ataupun suatu Hadits yang menunjukan keharusan mengucapkan “Mohon Maaf Lahir dan Batin” disaat-saat Idul Fitri.

Satu lagi, saat Idul Fitri, yakni mengucapan :
"MINAL 'AIDIN WAL FAIZIN".

Arti dari ucapan tersebut adalah :
“Kita kembali dan meraih kemenangan”

KITA MAU KEMBALI KEMANA?
Apa pada ketaatan atau kemaksiatan?

Meraih kemenangan?
Kemenangan apa?

Apakah kita menang melawan bulan Ramadhan sehingga kita bisa kembali berbuat keburukan?

Satu hal lagi yang mesti dipahami, setiap kali ada yang mengucapkan
“ Minal ‘Aidin wal Faizin ”

Lantas diikuti dengan kalimat,
“ Mohon Maaf Lahir dan Batin ”.

Karena mungkin kita mengira artinya adalah kalimat selanjutnya.

Ini sungguh KELIRU luar biasa...

Coba saja sampaikan kalimat itu pada saudara-saudara seiman kita di Pakistan, Turki, Saudi Arabia atau negara-negara lain....

PASTI PADA BINGUNG....

Sebagaimana diterangkan di atas, dari sisi makna kalimat ini keliru sehingga sudah sepantasnya kita HINDARI.

Ucapan yang lebih baik dan dicontohkan langsung oleh para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam , yaitu :

"TAQOBBALALLAHU MINNA WA MINKUM"
(Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian).

Jadi lebih baik, ucapan kita pada SMS /BBM / WA, kita adalah....

" Selamat  Idul Fitri. Taqobbalallahu minna wa minkum "
Barakallahu Fiikum

Kewajiban kita hanya men-syiar kan selebihnya kembalikan kepada masing-masing, Krn kita tdk bisa memberi hidayah kpd orang lain hanya Allah-lah yang bisa memberi hidayah kepada hambaNya yang Dia kehendaki

Semoga bermanfaat...
Allahu a'lam

Makanan Yang Di Sunnahkan Untuk Berbuka Puasa

Makanan yang disunnahkan di saat berbuka puasa.

Sahabat yang Mulia Anas bin Malik radhiyallaahu’anhu berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa dengan kurma muda sebelum sholat Maghrib, jika tidak ada kurma muda maka dengan kurma matang, jika tidak ada maka beliau meminum beberapa teguk air.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, Ash-Shahihah: 2650]

☕ Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa sunnah berbuka adalah dengan kurma muda, apabila tidak ada maka kurma matang, dan apabila tidak ada hendaklah berbuka dengan minum air putih sebagai gantinya, bukan kue yang manis-manis atau buah-buahan lainnya.

☕ Tidak disunnahkan memakan kurma dalam jumlah ganjil, karena tidak ada dalil shahih yang menujukkannya, yang ada dalil shahih hanyalah ketika memakan kurma sebelum keluar untuk sholat Idul Fitri, maka disunnahkan dalam jumlah ganjil, dan minimal 3 butir kurma (Lihat Fatawa Nur 'alad Darbi, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, no. 354)

☕ Hadits yang mulia ini juga menunjukkan bahwa waktu berbuka sebelum sholat Maghrib, namun tidak boleh dengan alasan berbuka kemudian melalaikan sholat Maghrib berjama’ah di awal waktu, maka yang lebih baik adalah menunda makan malam sampai setelah sholat Maghrib agar tidak terlambat (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 9/33, no. 18372).

☕ Kecuali apabila makan malam telah dihidangkan dan seseorang sangat ingin makan, maka hendaklah ia makan terlebih dahulu agar ia sholat dengan khusyu', tidak memikirkan makanan (Lihat Ats-Tsamarul Mustathob fii Fiqhis Sunnah wal Kitab lisy Syaikh Al-Albani rahimahullah, hal. 63).

Semoga bermanfaat.

Wassalam

Sunday, June 4, 2017

Pembatal Puasa dan Syarat Syaratnya

Pembahasan pembatalan pembatal puasa dan syarat syaratnya.

Pertama: Makan dan Minum

Allah ta’ala berfirman,

وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam.” [Al-Baqoroh: 187]

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى

“Allah ‘azza wa jalla berfirman: Kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya, karena ia telah meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim, dan lafaz ini milik Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

Dalam riwayat lain,

يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : الصَّوْمُ لِي ، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ ، يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي

“Allah ‘azza wa jalla berfirman: Puasa itu untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya, karena ia telah meninggalkan makannya, minumnya dan syahwatnya karena Aku.” [HR. Ahmad dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

Insya Allah akan datang pembahasan lebih detail.

Kedua: Berhubungan Suami Istri

Allah ta’ala berfirman,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ الله أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ الله لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” [Al-Baqoroh: 187]

Sahabat yang Mulia Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata,

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ. قَالَ: «مَا لَكَ؟» قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟» قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ»، قَالَ: لاَ، فَقَالَ: «فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا». قَالَ: لاَ، قَالَ: فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالعَرَقُ المِكْتَلُ – قَالَ: «أَيْنَ السَّائِلُ؟» فَقَالَ: أَنَا، قَالَ: «خُذْهَا، فَتَصَدَّقْ بِهِ» فَقَالَ الرَّجُلُ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي، فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: «أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ»

“Ketika kami sedang duduk bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang laki-laki seraya berkata: Wahai Rasulullah aku telah binasa. Beliau bersabda: Ada apa denganmu? Dia berkata: Aku menggauli istriku padahal aku sedang berpuasa (Ramadhan). Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: Apakah engkau bisa mendapatkan seorang budak untuk dibebaskan? Dia berkata: Tidak. Beliau bersabda: Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut? Dia berkata: Tidak. Beliau bersabda: Apakah engkau bisa mendapatkan makanan untuk 60 orang miskin? Dia berkata: Tidak. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam diam beberapa saat, dalam keadaan demikian Nabi shallallahu’alaihi wa sallam diberikan satu bejana kurma –satu miktal; yang dapat menampung 15 sho’- lalu beliau bersabda: Mana orang yang bertanya? Dia berkata: Aku. Beliau bersabda: Ambillah kurma ini dan sedekahkan. Dia berkata: Apakah diberikan kepada orang yang lebih fakir dariku wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada satu keluarga di daerah antara dua batu hitam tersebut yang lebih fakir dari keluargaku. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tertawa hingga nampak gigi beliau, kemudian beliau bersabda: Beri makanlah kurma itu kepada keluargamu.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Al-Imam Ibnul Mundzir rahimahullah berkata,

ولم يختلف أهل العلم أن الله عز وجل حرَّم على الصائم في نهار الصوم: الرَّفث: وهو الجماع، والأكل والشرب

“Ulama tidak berbeda pendapat bahwa Allah ‘azza wa jalla mengharamkan atas orang yang berpuasa di siang hari Ramadhan melakukan kekejian, yaitu berjima’, makan dan minum.” [Al-Ijma’, hal. 59][1]

Insya Allah akan datang pembahasan lebih detail.

Ketiga: Berniat Membatalkan Puasa

Barangsiapa berniat berbuka puasa atau menghentikan puasanya di siang hari maka puasanya batal, walau ia tidak makan dan minum atau berhubungan suami istri, karena ibadah bergantung kepada niat, berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,

إنَّمَا الأعْمَالُ بَالْنيَاتِ، وَإنَّمَا لِكل امرئ مَا نَوَى، فمَنْ كَانَتْ هِجْرَتهُ إلَى اللّه وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتهُ إلَىاللّه وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرتُهُ لِدُنيا يُصيبُهَا، أو امْرَأةيَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُه إلَى مَا هَاجَرَ إليهِ

“Sesungguhnya amalan-amalan manusia tergantung niat, dan setiap orang mendapatkan balasan sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka ia mendapatkan pahala hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia raih, atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Umar Bin Khaththab radhiyallahu’anhu]

Lihat keterangan lebih detail dalam pembahasan niat pada Rukun-rukun Puasa yang telah berlalu.

Keempat: Haid dan Nifas

Ulama sepakat bahwa keluarnya darah haid dan nifas membatalkan puasa, sama saja apakah di awal hari atau pertengahan, walau hanya beberapa detik sebelum masuk waktu Maghrib. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ

“Bukankah wanita apabila haid tidak boleh puasa dan sholat.” [HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu]

Apabila seorang wanita merasa sakit perut pertanda akan keluar darah haid namun darahnya tidak keluar kecuali setelah tenggelam matahari maka puasanya di hari itu sah.[2]

Dan wajib bagi wanita haid dan nifas untuk meng-qodho’,[3] sebagaimana dalam hadits Mu’adzah rahimahallah, ia berkata,

سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ، وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ. فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ. قَالَتْ: كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ،فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ

“Aku bertanya kepada Aisyah -radhiyallahu’anha-: Mengapakah wanita haid harus meng-qodho’ puasa dan tidak meng-qodho’ sholat? Beliau berkata: Apakah kamu wanita Khawarij? Aku berkata: Aku bukan wanita Khawarij, tapi aku bertanya. Maka beliau berkata: Dahulu ketika kami haid, kami diperintahkan untuk meng-qodho’ puasa dan tidak diperintahkan untuk meng-qodho’ sholat.” [HR. Muslim]

Lihat keterangan lebih detail dalam pembahasan Syarat-syarat Wajibnya Puasa yang telah berlalu.

Kelima: Murtad

Ulama seluruhnya sepakat bahwa murtad dari Islam membatalkan puasa bahkan menghapus seluruh amalan dan menghalangi diterimanya amalan yang akan dikerjakan–kita berlindung kepada Allah dari kemurtadan (kekafiran dan kesyirikan)-. Allah ta’ala berfirman,

وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلاَّ أَنَّهُمْ كَفَرُواْ بِالله وَبِرَسُولِهِ

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.” [At-Taubah: 54]

Dan firman Allah ta’ala,

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُورًا

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” [Al-Furqon: 23]

Dan firman Allah ta’ala,

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” [Al-An’am: 88]

Dan firman Allah ta’ala,

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ

“Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan terhapuslah amalanmu.” [Az-Zumar: 65]

Dan orang yang murtad akan mendapatkan azab neraka yang kekal karena murtad dan juga akan mendapat tambahan azab karena meninggalkan puasa dan amalan-amalan lainnya, sebab perintah dan larangan syari’at juga tertuju kepada orang-orang kafir. Allah ta’ala berfirman,

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَر * قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّين * وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِين* وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِين * وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّين * حَتَّى أَتَانَا الْيَقِين

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang batil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian.” [Al-Mudatstsir: 42-47]

Dan wajib mendakwahi orang yang murtad untuk kembali masuk Islam, apabila tidak mau maka wajib bagi negara untuk menjatuhkan hukuman mati, dan ini tugas khusus negara, tidak boleh dilakukan masyarakat. Apabila ia kembali masuk Islam di siang hari maka hendaklah ia memulai puasa pada saat itu juga sampai terbenam matahari, puasanya sah dan tidak perlu meng-qodho’, ini pendapat yang terkuat insya Allah dari dua pendapat ulama.

Lihat keterangan lebih detail dalam pembahasan Syarat-syarat Wajibnya Puasa yang telah berlalu.

SYARAT-SYARAT BATALNYA PUASA

Semua pembatal puasa di atas selain haid dan nifas tidaklah membatalkan puasa seseorang kecuali dengan tiga syarat:

Syarat Pertama: Memiliki Ilmu tentang Dua Perkara

1. Ilmu tentang hukumnya, yaitu mengetahui bahwa makan, minum dan berjima’ misalkan membatalkan puasa, siapa yang belum mengetahuinya maka tidak batal puasanya apabila ia makan, minum dan berjima’.

Dan apabila ia sudah mengetahui bahwa berjima’ membatalkan puasa walau ia belum mengetahui kaffaroh-nya maka puasanya batal, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim tentang kisah orang yang berhubungan suami istri ketika sedang berpuasa Ramadhan.

2. Ilmu tentang waktu berbuka puasa, apabila seseorang meyakini bahwa waktu berbuka telah masuk kemudian menjadi jelas baginya setelah itu ternyata belum masuk waktu berbuka maka puasanya tidak batal, hendaklah ia meneruskan puasanya.

Tetapi apabila ia masih ragu akan masuknya waktu berbuka, kemudian ia berbuka maka batal puasanya, karena hukum asalnya adalah tetapnya siang, tidak boleh dihukumi malam sampai yakin atau dengan persangkaan yang kuat.

Dalil syarat pertama ini diantaranya firman Allah ta’ala,

لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah).” [Al-Baqoroh: 286]

Allah ta’ala telah mengabulkan doa ini sebagaimana dalam hadits qudsi,

قَالَ: قَدْ فَعَلْتُ

“Allah berfirman: Sungguh Aku telah melakukannya (mengampuni orang yang lupa atau tersalah).” [HR. Muslim dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma]

Syarat Kedua: Melakukannya dalam Keadaan Ingat Sedang Puasa

Adapun orang yang lupa maka puasanya tidak batal. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ، فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ

“Barangsiapa lupa ketika berpuasa, lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya (sebab puasanya tidak batal), karena hakikatnya Allah yang memberi makan dan minum kepadanya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

Demikian pula orang yang melakukannya tanpa sengaja, seperti orang yang berkumur-kumur atau menghirup air ke hidung ketika berwudhu dan tanpa sengaja tertelan, atau kemasukan debu dan lalat di mulut dan masuk ke kerongkongan, maka puasanya tidak batal.

Termasuk orang yang berhubungan suami istri karena lupa sedang puasa juga tidak batal menurut pedapat terkuat insya Allah.

Akan tetapi apabila ia ingat atau diingatkan maka wajib baginya segera berhenti melakukannya, apabila misalkan masih ada makanan atau minuman di mulutnya wajib segera dikeluarkan, tidak boleh ditelan, demikian pula ketika sedang berhubungan suami istri maka wajib segera dihentikan.

Dan wajib bagi orang yang melihatnya untuk mengingatkannya.

Syarat Ketiga: Tidak Dipaksa Melakukannya

Siapa yang dipaksa melakukannya maka puasanya tidak batal. Allah ta’ala berfirman,

مَن كَفَرَ بِالله مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ الله وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيم

“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” [An-Nahl: 106]

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah mengampuni dosa umatku yang dilakukan karena tersalah, lupa dan terpaksa.” [HR. Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, Shahihul Jaami’: 1731]

Apabila misalkan seorang istri dipaksa suaminya untuk berhubungan badan maka puasanya tidak batal, namun apabila ia melakukannya tanpa dipaksa maka puasanya batal dan wajib atasnya kaffaroh sebagaimana akan datang penjelasannya lebih detail insya Allah ta’ala.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Semoga bermanfaat...

Saturday, June 3, 2017

Puasa Merupakan Pelindung dari Kemaksiatan

Puasa adalah pelindung dari segala kemaksiatan dan api neraka

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ : الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنَ النَّارِ، وَهُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

“Rabb kita ‘azza wa jalla berfirman: Puasa adalah perisai, yang dengannya seorang hamba membentengi diri dari api neraka, dan puasa itu untuk-Ku, Aku-lah yang akan membalasnya.” [HR. Ahmad dari Jabir radhiyallahu’anhu, Shahihul Jaami’: 4308]

KEUTAMAAN DAN HAKIKAT PUASA

Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan puasa yang sangat agung, yaitu akan menjadi perisai dari api neraka. Akan tetapi sebelum itu harus menjadi perisai terlebih dahulu dari perbuatan maksiat dalam kehidupan dunia ini. Bahkan inilah hakikat puasa, yaitu menahan diri dari perbuatan yang haram.

Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam bersabda,

وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ، ولا يجهل، فإن شاتمه أحد أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ ‏مرتين‏

"Dan puasa adalah perisai, maka ketika seseorang berpuasa janganlah berkata-kata kotor, janganlah berteriak-teriak dan janganlah melakukan kejahilan, dan apabila ada orang mencacinya atau memeranginya hendaklah ia berkata: Saya sedang puasa, saya sedang puasa." [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu]

Oleh karena itu, anak muda yang belum sanggup menikah, diperintahkan untuk berpuasa agar dapat menahan syahwatnya.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang telah mampu hendaklah ia segera menikah, karena menikah itu akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu akan menjadi perisai baginya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu]

Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,

والصائم هو الذي صامت جوارحه عن الآثام ولسانه عن الكذب والفحش وقول الزور وبطنه عن الطعام والشراب وفرجه عن الرفث

"Orang yang berpuasa adalah yang anggota tubuhnya berpuasa dari dosa-dosa, lisannya berpuasa dari ucapan dusta, perkataan keji dan persaksian palsu, perutnya berpuasa dari makan dan minum, dan kemaluannya berpuasa dari jima'." [Al-Wabilus Shayyib: 43]

PUASA YANG SIA-SIA

Puasa yang tidak dapat mencegah dari perbuatan yang haram adalah puasa yang sia-sia, tidak akan mengantarkan kepada takwa dan tidak bisa menggapai rahmat dan ampunan Allah 'azza wa jalla.

Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْل فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

"Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan yang haram, perbuatan yang haram dan kejahilan maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya." [HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu]

Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam juga bersabda,

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ

"Bisa jadi orang yang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan haus dari puasanya, dan bisa jadi orang yang sholat malam hanya mendapatkan begadang malam dari sholat malamnya." [HR. Ath-Thobrani dalam Al-Kabir, Shahihut Targhib: 1084]

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata,

احذروا المعاصي فإنها تحرم المغفرة في مواسم الرحمة

"Jauhilah kemaksiatan, karena ia menghalangi ampunan di musim-musim rahmat." [Lathooiful Ma'aarif: 295]

22 Kesalahan Di Bulan Ramadhan

Inilah diantara 22 kesalahan yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat islam di seputar ramadhan padahal tidak ada contoh dan dalil yang shahih dari Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dan para shahabat ridwanullah 'alaihim 'ajmain, antara lain :

1. Menentukan Awal Ramadhan Dengan Perhitungan Hisab.

Cara seperti itu merupakan bid'ah dalam agama. [Lihat Majmu Fatawa XXV/179-183]

2. Keramas (Mandi) Jelang Ramadhan

3. Ramadhan Dibagi Tiga

Kesalahan ini timbul karena hadits dhaif  [Lihat Adh-Dhaifah 4/70 (1569)]

4. Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan & Sesudahnya

Berziarah kubur memang dianjurkan namun mengkhususkannya pada waktu - waktu tertentu menyalahi syari'at.

Tidaklah tepat keyakinan bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”).  Ini merupakan kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.Menentukan bulan tertentu untuk ziarah kubur membutuhkan dalil.

5. Bermaaf-maafan menjelang Ramadhan

6. Mendahului Ramadhan dengan Berpuasa Satu atau Dua Hari Sebelumnya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدٌ الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَحَدٌ كَانَ يَصُومُ صِيَامًا قَبْلَهُ فَلْيَصُمْهُ

“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut maka puasalah.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Nasa’i)

Pada hari tersebut juga dilarang untuk berpuasa karena hari tersebut adalah hari yang meragukan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan maka dia telah mendurhakai Abul Qasim (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)

7. Melafalkan Niat "Nawaitu Shauma Ghodin..."

Tidak ada satupun riwayat dari Nabi shallallahu'alaihi wasallam, shahabat, maupun tabi'in yang menyebutkan bahwa mereka melafadzkan niat puasa seperti ini.

8. Imsak Diwaktu Sahur

Allah berfirman dalam al-qur'an, membolehkan kita makan minum sampai datang waktu shubuh (adzan) Lihat Al-Baqarah 187, oleh karena itu imsak ini yang +/- 10menit telah mengharamkan apa yang dihalalkan Allah.

9. Sahur di tengah malam

Hal ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengakhirkan waktu sahurnya hingga mendekati adzan shalat Shubuh.

10. Do’a Ketika Berbuka “Allahumma Laka Shumtu wa Bika Aamantu…”

Ada beberapa riwayat yang membicarakan do’a ketika berbuka semacam ini. Di antaranya adalah dalam Sunan Abu Daud no. 2357, Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 481 dan no. 482. Namun hadits-hadits yang membicarakan amalan ini adalah hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits tersebut ada yang mursal yang dinilai lemah oleh para ulama pakar hadits. Juga ada perowi yang meriwayatkan hadits tersebut yang dinilai lemah dan pendusta (Lihat Dho’if Abu Daud no. 2011 dan catatan kaki Al Adzkar yang ditakhrij oleh ‘Ishomuddin Ash Shobaabtiy).

Adapun do’a yang dianjurkan ketika berbuka adalah,

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

“Dzahabazh zhoma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)” (HR. Abu Daud. Dikatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud)

11. Meninggalkan Berkumur-kumur dan Meng­hirup Air ketika Berwudhu.

Padahal hal tersebut merupakan perkara yang disunnahkan dalam hal berwudhu meskipun sedang puasa menurut pandangan syariat Islam sebagaimana yang telah diterangkan dalam banyak hadits.

12. Mengakhirkan berbuka sampai munculnya bintang-bintang.

Padahal tuntunan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sangatlah jelas akan kesunnahan mempercepat buka puasa bila masuknya waktu berbuka

13. Merasa batal puasa jika tidak sengaja makan dan minum. Tidak ada perbedaan apakah makannya sedikit atau banyak.

14. Anggapan bahwa tidak boleh menelan ludah saat puasa.

15. Shaum Ramadhan tidak akan diterima sampai dikeluarkan zakat fithri

Datang dari hadits dhaif, lihat Adh-Dhaifah 1/117 no. 43

16. Menganggap haram berhubungan suami istri pada malam hari ramadhan.

17. Seorang belum mandi junub setelah waktu shubuh merasa tidak sah puasanya.

18. Seorang wanita yang sudah berhenti darah nifasnya sebelum 40 hari dia tidak shalat dan tidak puasa, yang benar wajib shalat dan puasa jika telah berhenti nifasnya meskipun belum 40 hari.

19. Keyakinan sebagian orang bahwa adzab kubur dihentikan selama Ramadhan

20. Anggapan Bahwa Tunggakan Ramadhan Menjadi Dua Kali Lipat Bila Diundur Hingga Ramadhan Berikutnya.

21. Pembayaran Fidyah terhadap Puasa yang Belum Ditinggalkan

Membayar fidyah sebelum meninggalkan puasa Ramadhan adalah kesalahan, seperti perempuan hamil yang merencanakan untuk tidak berpuasa Ramadhan, lalu sebelum Ramadhan atau pada awal Ramadhan, dia membayar fidyah untuk tiga puluh hari. Tentunya, hal ini adalah perkara yang salah karena kewajiban pembayaran fidyah dibebankan atasnya apabila ia telah meninggalkan puasa.

22. Menghabiskan Waktu dengan Perkara Yang Sia-Sia saat Ramadhan.

Allahu'alam

Semoga bermanfaat.

Hukum Merayakan Ulang Tahun Dan Menerima Hadiahnya

Tanya jawab AQIDAH ISLAM tentang hukum merayakan ulang tahun dan menerima hadiahnya Soal : Apa hukum merayakan hari ulang tahun bagi anak-...