Saturday, May 27, 2017

Adab Adab Sunnahnya Saat Berbuka Puasa

Beberapa adab adab sunnah dalam berbuka puasa.

01. Menyegerakan Berbuka Puasa

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

“Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa’ad As-Saa’idi radhiyallahu’anhu]

☕ Sepakat ulama bahwa yang dimaksud menyegerakan berbuka apabila telah terbenam matahari,[1] hendaklah segera berbuka, jangan ditunda-tunda.

☕ Kebaikan yang dimaksud dalam hadits ini adalah peneladanan terhadap sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.[2]

☕ Hadits yang mulia ini juga sebagai bantahan terhadap golongan sesat Syi’ah dan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang menunda-nunda waktu berbuka sampai munculnya bintang-bintang.[3]

02. Cara Memastikan Terbenamnya Matahari

Cara memastikan terbenamnya matahari bisa dengan tiga cara:[4]

1) Melihat langsung.

2) Mendengar berita yang terpercaya.

3) Mendengar adzan Maghrib.

03. Hukum Orang yang Berbuka Sebelum Matahari Terbenam Karena Mengira Sudah Terbenam*

Kondisinya ada dua:

1) Kondisi ragu, yaitu apabila ia berbuka dalam keadaan ragu apakah matahari telah terbenam atau belum, kemudian akhirnya menjadi jelas bahwa ternyata matahari belum terbenam, maka puasanya batal dan wajib baginya untuk meng-qodho’, karena pada asalnya adalah tetapnya siang, tidak boleh dihukumi malam kecuali dengan keyakinan.[5]

2) Kondisi yakin, yaitu apabila ia berbuka dalam keadaan yakin bahwa matahari telah terbenam, kemudian ternyata menjadi jelas bahwa matahari belum terbenam, maka pendapat yang kuat insya Allah puasanya tidak batal, hendaklah ia melanjutkan puasanya sampai terbenam matahari dan tidak perlu meng-qodho’. Berdasarkan hadits Asma’binti Abu Bakr radhiyallahu’anhuma, beliau berkata,

أَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ غَيْمٍ، ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ

قِيلَ لِهِشَامٍ: فَأُمِرُوا بِالقَضَاءِ؟ قَالَ: لاَ بُدَّ مِنْ قَضَاءٍ

وَقَالَ مَعْمَرٌ: سَمِعْتُ هِشَامًا لاَ أَدْرِي أَقَضَوْا أَمْ لاَ

“Kami berbuka di masa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pada hari mendung, kemudian matahari muncul.”

Dikatakan kepada Hisyam (rawi hadits): Apakah mereka diperintahkan untuk meng-qodho’? Beliau berkata: Harus di-qodho’.

Dan berkata Ma’mar, Aku mendengar Hisyam berkata: Aku tidak tahu mereka meng-qodho’ atau tidak.” [HR. Al-Bukhari]

Pendapat harus meng-qodho’ dalam riwayat di atas hanyalah ijtihad Hisyam bin Urwah rahimahumallah, bukan dari hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Pendapat yang lebih kuat insya Allah adalah puasa mereka tetap sah dan tidak wajib qodho’, karena tidak ada riwayat bahwa mereka diperintahkan untuk meng-qodho’, bahkan telah dinukil riwayat oleh Hisyam rahimahullah sendiri dari Bapaknya; Urwah rahimahullah, yang memastikan bahwa mereka tidak diperintahkan untuk meng-qodho’. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَقَدْ نَقَلَ هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عُرْوَةَ أَنَّهُمْ لَمْ يُؤْمَرُوا بِالْقَضَاءِ وَعُرْوَةُ أَعْلَمُ مِنْ ابْنِهِ

“Dan Hisyam telah menukil dari bapaknya; Urwah, ‘Bahwa mereka tidak diperintahkan untuk meng-qodho’.’ Dan Urwah lebih berilmu dari anaknya.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/232]

04. Makanan yang Disunnahkan untuk Berbuka

Sahabat yang Mulia Anas bin Malik radhiyallaahu’anhu berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa dengan kurma muda sebelum sholat Maghrib, jika tidak ada kurma muda maka dengan kurma matang, jika tidak ada maka beliau meminum beberapa teguk air.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, Ash-Shahihah: 2650]

☕ Tidak disunnahkan memakan kurma dalam jumlah ganjil, karena tidak ada dalil shahih yang menujukkannya, yang ada dalil shahih hanyalah ketika memakan kurma sebelum keluar untuk sholat Idul Fitri, maka disunnahkan dalam jumlah ganjil, dan minimal 3 butir kurma.

☕ Hadits yang mulia ini juga menunjukkan bahwa jika tidak ada kurma hendaklah air sebagai gantinya, bukan kue yang manis-manis atau buah-buahan lainnya.

☕ Hadits yang mulia ini juga menunjukkan bahwa waktu berbuka sebelum sholat Maghrib, namun tidak boleh dengan alasan berbuka kemudian melalaikan sholat Maghrib berjama’ah di awal waktu, maka yang lebih baik adalah menunda makan malam sampai setelah sholat Maghrib agar tidak terlambat.[6]

05. Kapankah Waktu Berbuka Puasa di Negeri yang Siangnya Panjang?*

Kondisinya ada dua keadaan:

1) Apabila waktu siang dan malam masih terbedakan dengan terbitnya fajar dan terbenamnya matahari, walau waktu siangnya jauh lebih panjang daripada waktu malam maka wajib untuk sholat dan puasa sesuai waktu yang ditetapkan syari’at, sehingga waktu mulai berpuasa tetap setelah terbit fajar dan waktu berbuka setelah terbenamnya matahari.

☕ Namun bagi siapa yang tidak mampu menyempurnakan puasa, atau khawatir akan membinasakannya, atau menyebabkan sakit parah maka boleh baginya untuk membatalkan puasanya dan wajib baginya untuk qodho’,[7] hukumnya sama dengan orang sakit yang masih diharapkan kesembuhannya.

2) Apabila waktu siang dan malam tidak terbedakan, yaitu tidak terlihat matahari terbit dan tidak pula tenggelam, maka hendaklah diperkirakan waktu sholat 5 waktu dalam 24 jam, dan hendaklah berpatokan pada negeri terdekat yang mampu membedakan antara waktu siang dan malam.

☕ Demikian pula waktu puasa, hendaklah diperkirakan waktu Shubuh dan waktu Maghrib dalam 24 jam, dan hendaklah berpatokan pada negeri terdekat yang mampu membedakan antara waktu siang dan malam.[8]

06. Kapan Berbuka Puasa Orang yang Naik Pesawat?*

☕ Hukum asalnya adalah mengikuti waktu di tempat di mana ia berada, jika di darat mengikuti waktu darat dan jika di udara mengikuti waktu di udara. Misalkan seseorang berada di pesawat di langit Jakarta, maka orang-orang yang berada di daratan Jakarta akan lebih dulu melihat matahari tenggelam, dan disyari’atkan bagi mereka untuk berbuka. Adapun yang ada di udara, apabila ia masih menyaksikan matahari maka tidak boleh baginya untuk berbuka atau sholat Maghrib sampai menyaksikannya atau memastikannya tenggelam.

☕ Demikian pula ketika masuk waktu Maghrib saat seseorang berada di bandara, maka hendaklah ia berbuka dan sholat Maghrib, apabila ia naik pesawat dan atau tiba di tempat tujuan, waktu Maghrib belum masuk maka ia tidak perlu meneruskan puasa dan tidak perlu sholat Maghrib lagi, karena waktu berbuka dan sholatnya di tempat di mana ia berada sebelumnya saat masuk waktu tersebut.[9]

07. Hukum Berpuasa Wishol

Tidak boleh berpuasa wishol, yaitu menyambung puasa tanpa berbuka dan tanpa sahur, hanya saja bagi yang ingin melakukannya diberikan keringanan sampai sahur saja, namun meninggalkannya lebih baik.[10] Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

لاَ تُوَاصِلُوا، فَأَيُّكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ، فَلْيُوَاصِلْ حَتَّى السَّحَرِ، قَالُوا: فَإِنَّكَ تُوَاصِلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ إِنِّي أَبِيتُ لِي مُطْعِمٌ يُطْعِمُنِي، وَسَاقٍ يَسْقِينِ

“Janganlah kalian menyambung puasa, siapa diantara kalian yang ingin menyambung maka sambunglah sampai waktu sahur. Para sahabat berkata: Sesungguhnya engkau menyambung puasa wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Sungguh aku tidak seperti keadaan kalian, aku bermalam dalam keadaan ada yang memberiku makan dan minum.” [HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu]

08. Anjuran Memberi Makan Berbuka Puasa dan Sahur

Jangan lupakan amalan agung di bulan ini: Memberi makanan berbuka puasa dan sahur untuk orang yang berpuasa. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

“Barangsiapa memberi makan orang yang berbuka puasa maka ia mendapat pahala yang sama dengannya tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut.” [HR. At-Tirmidzi dari Zaid bin Khalid Al-Juhani radhiyallahu’anhu, Shahihul Jaami’: 6415]

09. Hukum Ifthor Jama’i (Buka Puasa Bersama)

Ifthor jama’i; atau buka puasa bersama bukanlah ibadah secara khusus, namun boleh dikerjakan selama perkumpulan tersebut tidak diniatkan sebagai ibadah secara khusus, dan apabila dikhawatirkan muncul riya’ atau sum’ah ketika buka puasa sunnah bersama maka sebaiknya ditinggalkan.[11]

10. Beberapa Permasalahan Terkait Doa Ketika Puasa dan Berbuka

1) Hendaklah memperbanyak doa ketika berpuasa, sejak mulai berpuasa sampai berbuka puasa.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ لَا تُرَدُّ، دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الصَّائِمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ

“Ada tiga doa yang tidak akan ditolak: Doa orang tua (untuk anaknya), doa orang yang berpuasa, dan doa musafir.” [HR. Al-Baihaqi dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 1797]

2) Juga dianjurkan banyak berdoa di bulan Ramadhan di waktu siang dan malamnya.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِلَّهِ عُتَقَاءَ مِنَ النَّارِ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، وَلِكُلِّ مُسْلِمٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ

“Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari neraka di setiap siang dan malam Ramadhan, dan bagi setiap muslim di setiap malam dan siangnya ada doa yang pasti dikabulkan.” [HR. Ath-Thobrani dalam Al-Mu’jam Al-Aushat dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu, Shahihut Targhib: 1002]

3) Adakah doa khusus ketika berbuka puasa?

Ulama berbeda pendapat dalam menghukumi shahih tidaknya hadits-hadits tersebut, dan yang paling dianggap shahih adalah doa dengan lafaz,

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

“Dzahabaz Zhoma’ wab-tallatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru insya Allah”

“Telah hilang dahaga, telah basah urat-urat dan telah tetap pahalanya insya Allah.” [HR. Abu Daud dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma]

Sebagian ulama seperti Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menshahihkan hadits ini[12] dan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah mendha’ifkannya.[13] Dan dalam salah satu fatwa Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah, beliau tidak memastikan keshahihannya, beliau menyebutkan padanya ada kelemahan dan beliau mengatakan bahwa sebagian ulama menghasankannya.[14]

Maka dalam perkara ini ada keluasan bagi penuntut ilmu untuk meneliti pendapat mana yang lebih kuat, dan tidak ada celaan bagi orang yang mengikuti salah satu pendapat ulama tersebut sesuai dengan ilmu yang ia miliki atau hasil penelitiannya, dan kami sendiri cenderung kepada pendapat yang melemahkannya.

Akan tetapi tetap dianjurkan untuk banyak berdoa ketika berpuasa dan ketika berbuka puasa, berdasarkan dalil-dalil yang umum tentang anjuran banyak berdoa di bulan Ramadhan dan ketika berpuasa, yang telah kami sebutkan sebelumnya.

4) Jangan lupa tetap membaca doa sebelum dan sesudah makan ketika berbuka

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

“Apabila seorang dari kalian mau makan maka ucapkanlah nama Allah ta’ala (Bismillaah), jika ia lupa mengucapkan nama Allah ta’ala sebelum makan, hendaklah ia mengucapkan,

بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

“Bismillaahi awwalahu wa aakhirohu” Dengan nama Allah pada awalnya dan akhirnya.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi dari Aisyah radhiyallahu’anha, Shahihul Jami’: 380]

Adapun doa setelah makan disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

مَنْ أَكَلَ طَعَامًا فَقَالَ: الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلاَ قُوَّةٍ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa makan makanan lalu membaca,

الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلاَ قُوَّةٍ

“Alhamdulillaahillaadzi ath’amaniy hadza wa rozaqoniyhi min ghairi haulin minni walaa quwwatin.”

‘Segala puji bagi Allah yang telah memberi aku makan dan menganugerahkan rezeki itu kepadaku tanpa ada upaya dan kekuatan dariku’, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, dan ini lafaz At-Tirmidzi, dari Mu’adz bin Anas Al-Juhani radhiyallahu’anhu, Shahihut Targhib: 2042]

5) Jangan lupa pula mendoakan kebaikan untuk orang yang telah memberi makan berbuka kepada kita.

Diantaranya dengan doa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,

أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ، وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ الْأَبْرَارُ، وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلَائِكَةُ

“Afthoro ‘indakumus Shooimuuna, wa akala tho’amakumul abrooru, wa shollat ‘alaykumul malaaikah”

“Orang-orang yang berpuasa telah berbuka di tempat kalian, orang-orang baik telah memakan makanan kalian dan semoga para malaikat bersholawat atas kalian.” [HR. Abu Daud dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Shahihul Jaami’: 1137]

Dan doa umum untuk setiap orang yang memberi makan atau minum,

اللهُمَّ، أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي، وَأَسْقِ مَنْ أَسْقَانِي

“Allaahumma ath’im man ath’amani wa asqi man asqooni”

“Ya Allah beri makanlah orang yang memberi makan kepadaku, dan beri minumlah orang yang memberi minum kepadaku.” [HR. Muslim dari Al-Miqdad radhiyallahu’anhu]

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Semoga bermanfaat.

Friday, May 26, 2017

Pembahasan Tentang Sholat Tarawih


Kupas tuntas pembahasan tentang sholat tarawih.
1.Makna Sholat Tarawih
Sholat Tarawih adalah,
قيام الليل جماعة في رمضان
“Qiyaamullail (sholat malam) secara berjama’ah di bulan Ramadhan.[1]
Dinamakan sholat tarawih yang bermakna ‘mengistirahatkan’ karena para sahabat radhiyallahu’anhum melakukan sholat tersebut dengan memanjangkan berdiri, rukuk dan sujud, dan apabila mereka telah sholat 4 raka’at maka mereka akan beristirahat sebelum melanjutkan ke raka’at berikutnya.[2]
Adapun dilakukan secara berjama’ah di masjid maka itu lebih afdhal, dan boleh dikerjakan di rumah namun kurang pahalanya, kecuali bagi wanita lebih afdhal di rumah. Dan apabila di satu masjid tidak dikerjakan sesuai sunnah maka hendaklah mencari masjid lain yang sesuai sunnah, jika tidak mendapatkan masjid lain yang sesuai sunnah maka lebih afdhal sholat sendiri di rumah.[3]
Adapun berpindah-pindah dari satu masjid ke masjid lain (tarawih keliling) bukan untuk tujuan mencari masjid yang sesuai sunnah maka termasuk kesia-siaan.[4]
2. Hukum Sholat Tarawih
Sholat tarawih sunnah mu’akkadah (sangat ditekankan), berdasarkan kesepakatan (ijma’) ulama, tidak ada perbedaan pendapat.
3. Keutamaan Sholat Tarawih
Keutamaannya sangat besar, diantaranya adalah menjadi sebab dosa-dosa diampuni. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa sholat malam di bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Syarat Mendapatkan Keutamaan Sholat Tarawih
Keutamaan sholat tarawih hanya akan didapatkan dengan memenuhi empat syarat, dua syarat terdapat dalam hadits yang mulia ini dan dua syarat terdapat dalam hadits yang lain:
1) Berdasarkan iman, yaitu iman kepada Allah dan semua yang Allah wajibkan untuk diimani, termasuk mengimani bahwa sholat tarawih termasuk sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
2) Mengharapkan pahala, yaitu hanya mengharapkan balasan dari Allah semata-mata, inilah hakikat keikhlasan.
3) Meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam melakukannya. Berdasarkan sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits yang lain,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَد
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada atasnya petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” [HR. Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha]
4) Menjauhi dan bertaubat dari dosa besar, karena ini syarat mendapatkan ampunan dengan sebab amalan shalih. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ
“Sholat yang lima waktu, sholat Jum’at sampai Jum’at berikutnya, dan puasa Ramadhan sampai Ramadhan berikutnya, adalah penghapus-penghapus dosa di antara waktu-waktu tersebut, selama dosa besar tidak dilakukan.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
4. Waktu Sholat Tarawih
Waktu sholat tarawih dimulai ba’da Isya sampai terbit fajar (masuk waktu Shubuh), dan hendaklah dilakukan setelah sholat sunnah ba’da isya, kemudian tarawih, kemudian witir. Adapun melakukannya sebelum sholat Isya maka tidak sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.[6]
5. Hukum Sholat Malam Berjama’ah di Selain Bulan Ramadhan
Disyari’atkan sholat tarawih secara berjama’ah di masjid, dan tidak disyari’atkan menyengaja sholat malam berjama’ah di masjid selain di bulan Ramadhan karena itu termasuk bid’ah.[7]
Kecuali ketika kebetulan sekelompok orang sedang bermalam bersama di suatu rumah di luar bulan Ramadhan, lalu mereka melakukan sholat malam bersama di rumah serta tidak dilakukan terus menerus maka boleh insya Allah ta’ala, karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah melakukannya bersama Ibnu Abbas, di lain kesempatan bersama Ibnu Mas’ud dan di lain kesempatan bersama Hudzaifah radhiyallahu’anhum, namun beliau tidak melakukannya secara berjama’ah terus menerus dan tidak di masjid.[8]
Adapun sebab Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak sholat tarawih sepanjang Ramadhan secara berjama’ah di masjid karena beliau khawatir diwajibkan dalam syari’at, dan setelah kematian beliau maka kekhawatiran itu tidak ada lagi karena syari’at telah sempurna, sehingga disunnahkan sholat tarawih sebulan penuh Ramadhan secara berjama’ah di masjid, dan para sahabat pun mengerjakannya.
6. Berapa Jumlah Raka’at Sholat Tarawih...?
Jumlah raka’atnya yang disunnahkan adalah 11 raka’at, melakukan salam setiap dua raka’at.[9] Berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu’anha,
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak menambah sholat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula di bulan lainnya lebih dari 11 raka’at.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Adapun mengerjakannya sekaligus empat raka’at sekali salam adalah kurang tepat (dalam memahami dalil yang menyebutkan sholat beliau empat raka’at, empat raka’at) karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menegaskan bahwa sholat malam dua raka’at salam, dua raka’at salam (sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar yang disebutkan pada poin ketujuh).[10]
Dan diantara bentuk sholatnya adalah dua raka’at, dua raka’at sampai sepuluh raka’at dan ditutup dengan witir satu raka’at terakhir.[11] Berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu’anha,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ عَشْرَ رَكَعَاتٍ، وَيُوتِرُ بِسَجْدَةٍ، وَيَسْجُدُ سَجْدَتَيِ الْفَجْرِ، فَذَلِكَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam sholat malam 10 raka’at dan sholat witir satu raka’at, dan sholat sunnah sebelum Shubuh dua raka’at, maka semuanya menjadi 13 raka’at.” [HR. Abu Daud, Shahih Abi Daud: 1205]
7. Hukum Sholat Tarawih Lebih dari 11 Raka’at
Menambah lebih dari 11 raka’at dibolehkan, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Sholat malam itu dua raka’at, dua raka’at, maka apabila seorang dari kalian khawatir masuknya waktu Shubuh hendaklah sholat satu raka’at sebagai witir untuk menutup sholat yang telah ia kerjakan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma]
Dan telah shahih riwayat-riwayat dari para sahabat, ada yang melakukan 11 raka’at dan ada pula yang lebih dari itu. Akan tetapi yang afdhal adalah mengikuti jumlah yang tertera dalam As-Sunnah, yaitu 11 raka’at dengan melakukannya perlahan-lahan dan memanjangkan, tanpa memberatkan makmum.[12]
Adapun melakukannya dengan cepat sehingga melalaikan kewajiban dan rukun sholat seperti tidak thuma’ninah maka sholatnya tidak sah.[13]
Dan dibolehkan membaca mushaf bagi imam, terutama demi memanjangkan sholat tarawih.[14]
Hukum Sholat Tarawih Dua Sesi
Hadits yang mulia ini menunjukkan bolehnya sholat malam tanpa batasan jumlah raka'at dan dikerjakan setiap dua raka'at salam, sampai apabila mendekati waktu Shubuh hendaklah ditutup dengan witir satu raka'at, karena tiga raka'at atau lebih, waktunya tidak mencukupi.
Oleh karena itu dibolehkan insya Allah melakukan sholat malam dua sesi atau lebih, karena batasan jumlah raka'at sholat malam atau sholat tarawih tidak terbatas.
Namun dengan syarat: Apabila telah melakukan sholat witir di sesi pertama maka tidak boleh melakukan sholat witir lagi di sesi yang kedua.
Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam bersabda,
لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ
"Tidak boleh melakukan dua kali sholat witir dalam satu malam." [HR. Abu Daud dari Thalq bin Ali radhiyalahu'anhu, Shahih Abi Daud: 1293]
Perhatian : Apabila imam telah salam setelah witir di sesi kedua, hendaklah jama'ah yang telah sholat witir di sesi pertama jangan ikut salam, melainkan menambah satu raka'at lagi kemudian salam, agar tidak menjadi witir.
Bagaimana dengan Hadits yang Memerintahkan Sholat Witir Sebagai Akhir Sholat Malam....?
Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam bersabda,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا
"Jadikanlah witir sebagai sholat terakhir kalian di waktu malam." [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu'anhuma]
Jawabannya: Perintah menjadikan witir sebagai akhir sholat malam tidak wajib, karena Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam sendiri pernah sholat lagi setelah witir, sebagaimana dalam hadits Aisyah radhiyallahu’anha,
كَانَ يُصَلِّي ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي ثَمَانَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ يُوتِرُ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ فَرَكَعَ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالْإِقَامَةِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melakukan sholat 13 raka’at, dengan cara beliau sholat 8 raka’at kemudian beliau sholat witir (3 raka’at), kemudian beliau sholat 2 raka’at dalam keadaan duduk, maka ketika beliau hendak rukuk beliau berdiri terlebih dahulu kemudian rukuk. Kemudian beliau sholat 2 raka’at di antara adzan dan iqomah sholat Shubuh.” [HR. Muslim]
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga menganjurkan witir sebelum tidur bagi yang khawatir tidak bisa bangun malam, dan tidak ada larangan baginya untuk sholat malam apabila ia bisa bangun. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ خَافَ أَنْ لَا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ، وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ، فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ، وَذَلِكَ أَفْضَلُ
“Barangsiapa khawatir tidak dapat bangun malam maka hendaklah ia sholat witir di awal malam, dan barangsiapa optimis dapat bangun malam maka hendaklah ia sholat witir di akhir malam, karena sesungguhnya sholat di akhir malam itu disaksikan (oleh para malaikat rahmat), maka itu lebih afdhal.” [HR. Muslim dari Jabir radhiyallahu’anhu]
8. Jangan Tinggalkan Imam Sebelum Selesai Tarawih dan Witir*
Hendaklah melakukan sholat tarawih dan witir bersama imam sampai selesai, baik imam sholat 11 raka’at maupun lebih, ikuti terus sholat imam dari awal sampai selesai, jangan meninggalkan imam sebelum selesai.[15] Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Sesungguhnya barangsiapa yang sholat (tarawih) bersama imam sampai imam selesai sholat maka dituliskan baginya pahala sholat semalam penuh.” [HR. At-Tirmidzi dari Abu Dzar radhiyallaahu’anhu, Al-Irwa’:  447]
9. Hukum Sholat Tarawih Wanita di Masjid
Dibolehkan bagi wanita ikut sholat tarawih di masjid dengan syarat aman dari ‘fitnah’ antara lawan jenis, dan hendaklah seorang wanita menghiasi diri dengan adab-adab syari’at, dan sangat disayangkan syarat penting ini tidak dipenuhi oleh banyak wanita muslimah. Oleh karena itu sholat wanita di rumah lebih baik bagi wanita, baik untuk sholat wajib maupun sholat sunnah, selain sholat hari raya.[16]
10. Adakah Doa dan Dzikir Sholat Tarawih....?
Tidak ada iqomah untuk sholat tarawih, tidak ada pula dzikir-dzikir khusus atau bacaan-bacaan khusus sebelum tarawih dan di antara dua raka’at sholat tarawih.
Mengkhususkan dzikir-dzikir tertentu yang tidak berdasarkan dalil termasuk bid’ah, dan mengeraskan dzikir tersebut, dengan cara dibaca oleh imam kemudian dijawab oleh makmum, serta doa dan dzikir secara berjama’ah setelah tarawih juga termasuk bid’ah dan menyelisihi adab berdzikir, yaitu tidak mengeraskan suara, kecuali apabila terdapat dalil untuk mengeraskannya bagi laki-laki seperti takbir idul fitri dan idul adha.[17]
Surat dan dzikir yang disyari’atkan dalam sholat malam secara khusus -sependek yang kami ketahui- hanyalah dalam sholat witir dan dzikir setelahnya, yang terdapat dalam hadits Abdur Rahman bin Abza radhiyallahu’anhu berikut ini,
أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَكَانَ إِذَا سَلَّمَ قَالَ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ، ثَلَاثًا يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالْآخِرَةِ
“Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sholat witir (tiga raka’at) dengan membaca ‘Sabbihisma Robbikal A’la’(pada raka’at pertama), ‘Qul yaa ayyuhal kaafiruun’ (pada raka’at kedua) dan ‘Qul Huwallaahu Ahad’ (pada raka’at ketiga), dan setelah salam beliau membaca:
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ
‘Subhaanal Maalikil Qudduus’ (Maha suci Allah Raja yang Maha Suci dari segala kekurangan).
Beliau membacanya tiga kali dan memanjangkannya pada bacaan yang ketiga.” [HR. Ahmad dan Abu Daud, dan redaksi ini milik Ahmad, lihat Shahih Abi Daud: 1284]
Namun sangat dianjurkan untuk memperbanyak doa dan istighfar di akhir malam, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ
“Rabb kita tabaaraka wa ta’ala turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir seraya berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku jawab do’anya, siapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku kabulkan permintaannya, dan siapa yang memohon ampunan kepada-Ku maka akan Aku ampuni dia.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Catatan Kaki :
[1] Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin, 14/210.
[2] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 4/10
[3] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 7/199 no. 6914.
[4] Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin, 14/211.
[5] Lihat Syarhu Muslim lin Nawawi, 6/286 dan Al-Mughni, 2/601, sebagaimana dalam Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 316.
[6] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 4/60
[7] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 4/60
[8] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 4/60-61
[9] Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin, 14/210.
[10] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 11/321.
[11] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 11/321.
[12] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 11/322.
[13] Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin, 14/211.
[14] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 7/203-204, no. 2238.
[15] Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin, 14/211.
[16] Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin, 14/211.
[17] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 2/528-529 no. 6260 dan 7/209-218 no. 7572.
Semoga Bermanfaat.

Thursday, May 25, 2017

Ciri ciri Istri Yang Dapat Mendatangkan Rezeki

Sepuluh ciri ciri istri yang dapat mendatangkan rezeki bagi suami atau keluarganya.

Ada sepuluh Sifat Wanita yang Mendatangkan Rezeki Bagi Suami . Banyak suami yang mungkin tidak tahu bahwa rezekinya dengan izin Allah mengalir lancar atas peran istri. 10 sifat istri ini ‘membantu’ mendatangkan rezeki bagi suaminya.

1. ISTRI YANG PANDAI BERSYUKUR

Istri yang bersyukur atas segala karunia Allah pada hakikatnya dia sedang mengundang tambahan nikmat untuk suaminya. Termasuk rezeki. Punya suami, bersyukur. Menjadi ibu, bersyukur. Anak-anak bisa mengaji, bersyukur. Suami memberikan nafkah, bersyukur. Suami memberikan hadiah, bersyukur. Suami mencintai setulus hati, bersyukur. Suami memberikan kenikmatan sebagai suami istri, bersyukur.

2. ISTRI YANG TAWAKAL KEPADA ALLAH
Di saat seseorang bertawakkal kepada Allah, Allah akan mencukupi rezekinya.
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaq: 3).
Jika seorang istri bertawakkal kepada Allah, sementara dia tidak bekerja, dari mana dia dicukupkan rezekinya. Allah akan mencukupkannya dari jalan lain, tidak selalu harus langsung diberikan kepada wanita tersebut. Bisa jadi Allah akan memberikan rezeki yang banyak kepada suaminya, lalu suami tersebut memberikan nafkah yang cukup kepada dirinya.

3. ISTRI YANG BAIK AGAMANYA

Rasulullah menjelaskan bahwa wanita dinikahi karena empat perkara. Karena hartanya, kecantikannya, nasabnya dan agamanya.
“Pilihlah karena agamanya, niscaya kamu beruntung” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Beruntung itu beruntung di dunia dan di akhirat. Beruntung di dunia, salah satu aspeknya adalah dimudahkan mendapatkan rezeki yang halal.

4. ISTRI YANG BANYAK BERISTIGHFAR

Di antara keutamaan istighfar adalah mendatangkan rezeki. Hal itu bisa dilihat dalam Surat Nuh ayat 10 hingga 12. Bahwa dengan memperbanyak istighfar, Allah akan mengirimkan hujan dan memperbanyak harta.
“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu’, sesunguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, memperbanyak harta dan anak-anakmu, mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) sungai-sungai untukmu”(QS. Nuh : 10-12).

5. ISTRI YANG GEMAR SILATURAHIM
Istri yang gemar menyambung silaturahim, baik kepada orang tuanya, mertuanya, sanak familinya,sahabat dan saudari-saudari seaqidah, pada hakikatnya ia sedang membantu suaminya memperlancar rezeki. Sebab keutamaan silaturahim adalah dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya.

6. ISTRI YANG SUKA BERSEDEKAH

Istri yang suka bersedekah, dia juga pada hakikatnya sedang melipatgandakan rezeki suaminya. Sebab salah satu keutamaan sedekah sebagaimana disebutkan dalam surat Al Baqarah, akan dilipatgandakan Allah hingga 700 kali lipat. Bahkan hingga kelipatan lain sesuai kehendak Allah.

7. ISTRI YANG BERTAQWA

Orang yang bertaqwa akan mendapatkan jaminan rezeki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan ia akan mendapatkan rezeki dari arah yang tak disangka-sangka. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ath Talaq ayat 2 dan 3.

8. ISTRI YANG SELALU MENDOAKAN SUAMINYA

Jika seseorang ingin mendapatkan sesuatu, ia perlu mengetahui siapakah yang memilikinya. Ia tidak bisa mendapatkan sesuatu tersebut melainkan dari pemiliknya.
Begitulah rezeki. Rezeki sebenarnya adalah pemberian dari Allah Azza wa Jalla. Dialah yang Maha Pemberi rezeki. Maka jangan hanya mengandalkan usaha manusiawi namun perbanyaklah berdoa memohon kepadaNya. Doakan suami agar senantiasa mendapatkan limpahan rezeki dari Allah, dan yakinlah jika istri berdoa kepada Allah untuk suaminya pasti Allah akan mengabulkannya.

9. ISTRI YANG GEMAR SHALAT DHUHA

Shalat dhuha merupakan shalat sunnah yang luar biasa keutamaannya. Shalat dhuha dua raka’at setara dengan 360 sedekah untuk menggantikan hutang sedekah tiap persendian. Shalat dhuha empat rakaat, Allah akan menjamin rezekinya sepanjang hari.

10. ISTRI YG TAAT & MELAYANI SUAMINYA
"Salah satu kewajiban istri kepada suami adalah mentaatinya. Sepanjang perintah suami tidak dalam rangka mendurhakai Allah dan RasulNya, istri wajib mentaatinya."

Apa hubungannya dengan rezeki? Ketika seorang istri taat kepada suaminya, maka hati suaminya pun tenang dan damai. Ketika hatinya damai, ia bisa berpikir lebih jernih dan kreatifitasnya muncul. Semangat kerjanya pun menggebu. Ibadah juga lebih tenang, rizki mengalir lancar.

Subhanallah, semoga istri2x qt termasuk di antaranya, aamiin....

Cara Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan Menurut Syari'at


Cara menentukan awal dan akhir Ramadhan berdasarkan syari'at islam
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
“Berpuasalah karena kalian telah melihat bulan dan berbukalah (berhari raya idul fitri) karena kalian telah melihatnya, apabila kalian terhalangi melihatnya maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi 30 hari.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
BEBERAPA_PERMASALAHAN...:
01. Peringatan bagi Kaum Muslimin untuk Mengikuti Tuntunan Syari’at dalam Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan
Hadits yang mulia di atas adalah kata putus dari Allah subhanahu wa ta’ala melalui lisan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam dalam permasalahan cara menetapkan awal dan akhir bulan Ramadhan dan bulan-bulan yang lainnya. Maka sudah sepatutnya kaum muslimin untuk selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, agar selamat dari kesesatan dan perselisihan. Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisa]
02. Dua Cara Penetapan Awal Ramadhan.
Hadits yang mulia ini menunjukkan dua cara menetapkan awal bulan Ramadhan:
1) Melihat hilal, yaitu bulan yang muncul setelah terbenam matahari pada tanggal 29 Sya’ban.
2) Menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (ketika bulan tidak terlihat).
Inilah dua cara yang disyari’atkan, adapun selain itu seperti menetapkan awal bulan Ramadhan dengan ilmu hisab maka termasuk kategori mengada-ada (bid’ah) dalam agama dan menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
يَجِبُ صَوْمُ رَمَضَانَ بِاسْتِكْمَالِ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ، أَوْ رُؤْيَةِ هِلَالِهِ
“Wajib berpuasa Ramadhan dengan menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari atau melihat hilal Ramadhan.” [Roudhatut Thoolibin, 2/345]
Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah juga berkata,
فَالصَّوَابُ ماقاله الْجُمْهُورُ وَمَا سِوَاهُ فَاسِدٌ مَرْدُودٌ بِصَرَائِحِ الْأَحَادِيثِ السَّابِقَةِ
“Maka yang benar adalah pendapat Jumhur ulama, dan yang selain itu adalah pendapat yang rusak lagi tertolak berdasarkan hadits-hadits sebelumnya yang jelas maknanya.” [Al-Majmu’, 6/270]
Bahkan para ulama yang lainnya telah menukil ijma’ (kesepakatan ulama) atas wajibnya menetapkan awal bulan dengan ru’yah hilal atau menggenapkan bulan menjadi 30 hari, dan penetapan dengan cara hisab adalah batil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَلَا رَيْبَ أَنَّهُ ثَبَتَ بِالسُّنَّةِ الصَّحِيحَةِ وَاتِّفَاقِ الصَّحَابَةِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الِاعْتِمَادُ عَلَى حِسَابِ النُّجُومِ
“Tidak diragukan lagi bahwa telah tetap berdasarkan sunnah yang shahih dan kesepakatan sahabat, tidak boleh menetapkan awal bulan Ramadhan dengan berpatokan kepada hisab nujum.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/207]
Dan ternyata, kelompok yang pertama kali menggunakan hisab adalah kelompok sesat Syi’ah. Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
وَقَدْ ذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى الرُّجُوعِ إِلَى أَهْلِ التَّسْيِيرِ فِي ذَلِكَ وَهُمُ الرَّوَافِضُ وَنُقِلَ عَنْ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ مُوَافَقَتُهُمْ قَالَ الْبَاجِيُّ وَإِجْمَاعُ السَّلَفِ الصَّالح حجَّة عَلَيْهِم وَقَالَ بن بَزِيزَةَ وَهُوَ مَذْهَبٌ بَاطِلٌ
“Sebagian orang berpendapat untuk merujuk kepada ahli hisab dalam penetapan bulan, mereka itu adalah Syi’ah Rafidhah dan dinukil persetujuan terhadap pendapat tersebut dari sebagian fuqoho, maka Al-Baaji berkata: Dan ijma’ As-Salafus Shalih adalah hujjah atas mereka. Dan berkata Ibnu Bazizah: Menggunakan hisab adalah pendapat yang batil.” [Fathul Baari, 4/127]
03. Apa Kewajiban Pemerintah...?
Pemerintah hendaklah menetapkan awal puasa Ramadhan dengan persaksian melihat bulan meskipun oleh satu orang saksi yang terpercaya, adapun bulan Syawwal dan bulan-bulan lainnya dengan dua orang saksi yang terpercaya. Sahabat yang Mulia Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma berkata,
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ، فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْتُهُ، فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِالصِّيَامِ
“Manusia berusaha melihat hilal, maka aku mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya, beliau pun berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, Shahih Abi Daud: 2028]
Sahabat yang Mulia Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata,
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ، فَقَالَ: أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: يَا بِلَالُ، أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا
“Seorang Arab dusun datang kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam seraya berkata: Sungguh aku telah melihat hilal. Beliau bersabda: Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah? Ia berkata: Ya. Beliau bersabda lagi: Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah? Ia berkata: Ya. Beliau bersabda: Wahai Bilal, umumkan kepada manusia, hendaklah mereka berpuasa besok.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi]
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah berkata,
وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا الحَدِيثِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ العِلْمِ قَالُوا: تُقْبَلُ شَهَادَةُ رَجُلٍ وَاحِدٍ فِي الصِّيَامِ، وَبِهِ يَقُولُ ابْنُ الْمُبَارَكِ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَحْمَدُ، وَأَهْلِ الْكُوفَةِ، قَالَ إِسْحَاقُ: لاَ يُصَامُ إِلاَّ بِشَهَادَةِ رَجُلَيْنِ، وَلَمْ يَخْتَلِفْ أَهْلُ العِلْمِ فِي الإِفْطَارِ أَنَّهُ لاَ يُقْبَلُ فِيهِ إِلاَّ شَهَادَةُ رَجُلَيْنِ
“Kebanyakan ulama mengamalkan hadits ini, mereka berpendapat: Persaksian satu orang diterima dalam penetapan awal puasa, ini pendapat Ibnul Mubarok, Asy-Syafi’i, Ahmad dan ulama Kufah. Adapun Ishaq berkata, ‘Tidak boleh mulai berpuasa kecuali dengan persaksian dua orang saksi’. Dan ulama tidak berbeda pendapat dalam penetapan akhir puasa bahwa tidak diterima dalam permasalahan ini kecuali dengan persaksian dua orang saksi.” [Sunan At-Tirmidzi, 2/67]
Adapun dalil persaksian dua orang, diantaranya sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ، فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا، وَأَفْطِرُوا
“Berpuasalah karena kalian telah melihat bulan, berbukalah (berhari raya idul fitri) karena kalian telah melihatnya, dan menyembelihlah (berhari raya idul adha) karena kalian telah melihatnya, apabila mendung menghalangi kalian maka sempurnakanlah bulan menjadi 30 hari, serta apabila telah bersaksi dua orang saksi maka berpuasalah dan berbukalah (berhari raya idul fitri).” [HR. An-Nasaai dari Abdur Rahman bin Zaid bin Al-Khottab dari Para Sahabat radhiyallahu’anhum, Shahihul Jaami’: 3811]
Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa penetapan puasa dan hari raya haruslah dengan kesaksian dua orang saksi, akan tetapi hadits yang sebelumnya memberikan pengecualiaan untuk penetapan puasa boleh dengan satu orang saksi. Asy-Syaikh Al-‘Allaamah Ibnu Baz rahimahullah berkata,
والمقصود أن شهادة العدلين لا بد منها في الخروج وفي جميع الشهور، أما رمضان في الدخول فيكتفى فيه بشهادة واحد عدل للحديثين السابقين
“Maksudnya adalah bahwa persaksian dua orang yang adil (terpercaya) harus ada untuk menetapkan akhir bulan Ramadhan dan seluruh bulan, adapun awal bulan Ramadhan maka cukup dengan satu orang saksi yang adil (terpercaya) berdasarkan dua hadits sebelumnya.” [Majmu Fatawa Ibni Baz, 15/62]
04. Apabila Baru Mengetahui Masuknya Bulan Ramadhan Setelah Terbit Fajar.
Apabila kaum muslimin baru mengetahui terlihatnya bulan setelah terbit fajar, misalkan ketika saksi baru datang setelah terbit fajar dan mengabarkan bahwa ia telah melihat bulan setelah terbenamnya matahari semalam, maka pendapat yang kuat insya Allah adalah wajib memulai puasa pada saat itu juga dan puasanya sah, tidak perlu meng-qodho’. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيَصُمْ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ أَكَلَ فَلْيَصُمْ، فَإِنَّ اليَوْمَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ
“Barangsiapa yang telah makan hendaklah berpuasa pada sisa harinya, dan barangsiapa yang belum makan hendaklah terus berpuasa, karena sesungguhnya hari ini adalah hari Asyuro’.” [HR. Al-Bukhari dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu’anhu]
Para ulama menjelaskan bahwa puasa Asyuro’ dahulu diwajibkan sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, maka ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengetahui bahwa hari itu adalah hari Asyuro’, beliau pun memerintahkan sahabat untuk berpuasa dan tidak memerintahkan mereka untuk meng-qodho’, menunjukkan bahwa puasa mereka telah sah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
أَنَّ الْهِلَالَ إذَا ثَبَتَ فِي أَثْنَاءِ يَوْمٍ قَبْلَ الْأَكْلِ أَوْ بَعْدَهُ أَتَمُّوا وَأَمْسَكُوا وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِمْ كَمَا لَوْ بَلَغَ صَبِيٌّ أَوْ أَفَاقَ مَجْنُونٌ عَلَى أَصَحِّ الْأَقْوَالِ الثَّلَاثَةِ
“Bahwa hilal apabila baru ditetapkan di tengah hari sebelum makan atau setelahnya maka hendaklah mereka menyempurnakan hari itu dengan puasa dan menahan diri dari pembatal-pembatal puasa, dan tidak ada kewajiban qodho’ atas mereka, sebagaimana anak kecil apabila mencapai baligh atau orang gila apabila menjadi berakal (hendaklah mulai berpuasa pada saat itu juga walau di tengah hari dan tidak perlu meng-qodho’ setelah Ramadhan), menurut pendapat yang paling shahih dari tiga pendapat.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/109]
05. Apa Hukum Melihat Hilal dengan Alat...?
Asy-Syaikh Al-‘Allaamah Ibnu Baz rahimahullah berkata,
أما الآلات فظاهر الأدلة الشرعية عدم تكليف الناس بالتماس الهلال بها، بل تكفي رؤية العين. ولكن من طالع الهلال بها وجزم بأنه رآه بواسطتها بعد غروب الشمس وهو مسلم عدل، فلا أعلم مانعا من العمل برؤيته الهلال؛ لأنها من رؤية العين لا من الحساب
“Adapun alat-alat (untuk melihat hilal) maka yang nampak jelas pada dalil-dalil syari’at adalah tidak perlu menyulitkan manusia untuk mencari hilal dengannya, namun cukuplah dengan penglihatan mata secara langsung. Akan tetapi barangsiapa yang melihat hilal dengan alat dan memastikan bahwa ia telah melihatnya dengan perantara alat tersebut setelah terbenam matahari, sedang ia adalah seorang muslim yang adil (terpecaya), maka saya tidak tahu adanya penghalang untuk beramal sesuai dengan ru’yah hilalnya, karena hakikatnya itu termasuk penglihatan mata, bukan dengan hisab.” [Majmu Fatawa Ibni Baz, 15/69]
06. Masalah Perbedaan Tempat Keluarnya Bulan.
Ulama sepakat bahwa tempat keluar bulan berbeda-beda antara satu negeri dengan negeri lain yang berjauhan, berdasarkan dalil syar’i, akal sehat dan panca indera.
Akan tetapi ulama berbeda pendapat apakah perbedaan tersebut berlaku dalam penetapan bulan Ramadhan dan bulan lainnya, misalkan jika telah terlihat hilal di Arab Saudi apakah berlaku juga untuk Indonesia? Ataukah Indonesia harus melihat hilal sendiri, jika tidak maka harus menyempurnakan bulan menjadi 30 hari?
Pendapat yang terkuat insya Allah adalah tetap berlaku apabila kaum muslimin memiliki lebih dari satu negeri, maka setiap negeri kaum muslimin boleh memutuskan sesuai hasil ru’yah di negeri masing-masing. Adapun apabila kaum muslimin hanya memiliki satu negeri, yaitu dikuasai oleh satu pemerintah untuk seluruh wilayah kaum muslimin, maka wajib bagi kaum muslimin untuk mengikuti keputusan pemerintah, sebagaimana akan datang insya Allah dalam pembahasan selanjutnya.
Dan perbedaan pendapat seperti ini termasuk dalam ketegori perbedaan pendapat yang boleh ditoleransi. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
فإذا ثبتت في المملكة العربية السعودية مثلا وصام برؤيته أهل الشام ومصر وغيرهم فحسن؛ لعموم الأحاديث، وإن لم يصوموا وتراءوا الهلال وصاموا برؤيتهم فلا بأس، وقد صدر قرار من مجلس هيئة كبار العلماء في المملكة العربية السعودية بأن لكل أهل بلد رؤيتهم؛ لحديث ابن عباس المذكور وما جاء في معناه
“Apabila misalkan telah terlihat hilal di Kerajaan Saudi Arabia, kemudian negeri Syam, Mesir dan yang lainnya ikut berpuasa maka itu adalah hal yang baik berdasarkan keumuman hadits-hadits dalam permasalahan melihat bulan. Namun apabila mereka belum berpuasa dan masih berusaha melihat hilal dan berpuasa sesuai ru’yah mereka sendiri maka tidak apa-apa, dan telah ditetapkan keputusan fatwa dari Majelis Komite Ulama Besar di Kerajaan Saudi Arabia bahwa setiap negeri memiliki ru’yah tersendiri, berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma yang telah disebutkan dan hadits lain yang semakna.” [Majmu Fatawa Ibni Baz, 15/85]
07. Bagaimana dengan Kaum Muslimin yang Tinggal di Negeri Kafir...?
Boleh bagi kaum muslimin yang tinggal di negeri kafir untuk mengikuti keputusan negeri-negeri kaum muslimin dalam penetapan puasa dan hari raya. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata ketika menanggapi pertanyaan kaum muslimin dari Spanyol,
أما ما ذكرتم عن صومكم معنا وفطركم معنا لكونكم أقمتم في أسبانيا أيام رمضان فلا بأس ولا حرج عليكم في ذلك
“Adapun yang kalian sebutkan tentang puasa kalian dan hari raya kalian yang waktunya mengikuti kami (Arab Saudi), dikarenakan kalian tinggal di Spanyol selama Ramadhan maka tidak apa-apa dan tidak ada dosa atas kalian dalam perkara tersebut.” [Majmu Fatawa Ibni Baz, 15/85]
08. Kapan Ru’yah Hilal Dilakukan...?
Hadits yang mulia ini juga menunjukkan bahwa melihat bulan untuk menetapkan awal Ramadhan dilakukan pada tanggal 29 Sya’ban, karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Oleh karena itu tidak mungkin menetapkan awal Ramadhan jauh-jauh hari, seperti yang dilakukan oleh sebagian ormas yang menyelisihi syari’at karena mengikuti metode hisab.
Dan bulan di dalam syari’at hanya dua kemungkinan, apakah 29 atau 30 hari, tidak kurang dan tidak lebih. Oleh karena itu, perbedaan waktu keluarnya bulan antara satu negeri dengan negeri yang lainnya tidak akan lebih dari satu hari. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
وحيث قيل باعتبار اختلاف المطالع فالظاهر أنه لا يقع بأكثر من يوم، ولا يجوز للمسلم أن يصوم أقل من 29 يوما؛ لأن الشهر في الشرع المطهر لا ينقص عن 29 يوما ولا يزيد على 30 يوما
“Ketika memilih pendapat berbedanya tempat keluarnya bulan untuk penetapan awal dan akhir puasa maka yang nampak jelas bahwa hal itu tidak akan terjadi lebih dari satu hari, dan tidak boleh bagi seorang muslim untuk berpuasa kurang dari 29 hari, karena bulan di dalam syari’at yang suci ini tidak kurang dari 29 hari dan tidak lebih dari 30 hari.” [Majmu Fatawa Ibni Baz, 15/79]
09. Seperti Apa Bentuk Bulan dan Posisinya Ketika Ru’yah Hilal....?
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
وأما كبر الأهلة وصغرها وارتفاعها وانخفاضها فليس عليه اعتبار ولا يتعلق به حكم؛ لأن الشرع المطهر لم يعتبر ذلك فيما نعلم
“Adapun besarnya bulan, kecilnya, tingginya dan rendahnya maka itu tidak teranggap dan tidak terkait dengan hukum, karena syari’at yang suci ini tidak menganggap hal itu terkait hukum, sesuai yang kami ketahui.” [Majmu Fatawa Ibni Baz, 15/80]
10. Apabila Seseorang Berpuasa di Dua Negeri yang Berbeda dalam Penetapan Awal Ramadhan.
Apabila seseorang memulai berpuasa di satu negeri kemudian melakukan safar di akhir Ramadhan ke negeri lain yang berbeda dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan, maka berapa hari puasa yang harus ia kerjakan? Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
إذا صمتم في السعودية أو غيرها ثم صمتم بقية الشهر في بلادكم، فأفطروا بإفطارهم ولو زاد ذلك على ثلاثين يوما؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: «الصوم يوم تصومون والفطر يوم تفطرون» لكن إن لم تكملوا تسعة وعشرين يوما فعليكم إكمال ذلك؛ لأن الشهر لا ينقص عن تسع وعشرين. والله ولي التوفيق
“Apabila kalian telah mulai berpuasa di Saudi atau di negeri lainnya, kemudian kalian berpuasa di negeri kalian pada hari-hari Ramadhan yang tersisa, maka berbukalah (berhari raya idul fitri) bersama dengan penduduk negerimu meski pun puasa kalian lebih dari 30 hari, berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
“Berpuasa adalah hari kalian berpuasa, berbuka (berhari raya idul fitri) adalah hari kalian berbuka.” [HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 224]
Akan tetapi jika kalian belum menyempurnakan puasa 29 hari maka hendaklah kalian menyempurnakannya (dengan cara meng-qodho’ setelah hari raya), karena bulan tidak kurang dari 29 hari. Wallaahu Waliyyut taufiq.” [Majmu Fatawa Ibni Baz, 15/156]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Tuesday, May 23, 2017

13 Perkara Yang Wajib Dijaga Seorang Muslimah

Assalamu'alaikum...

Perkara ini bukan sembarang perkara. Diantara banyak perkara tentang wanita muslimah ada 13 perkara yang wajib dijaga oleh wanita muslimah :

1. Bulu Kening atau Alis

Rasuulullaah melaknat perempuan yang mencukur atau menipiskan bulu kening atau meminta supaya dicukurkan bulu kening. (HR. Abu Daud)

2. Kaki dan menampakkan perhiasan

Dan janganlah mereka (perempuan) menghentakkan kaki atau mengangkatnya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. (petikan dari surah An-Nur ayat 31)

Keterangan, menampakkan kaki dan menghayunkannya/ mengikut hentakan kaki terutama pada mereka yang mengikatnya dengan loceng, sama juga dengan pelacur di zaman jahiliyah.

3. Wewangian

Siapa saja wanita yang memakai wangi-wangian kemudian melewati suatu kaum supaya mereka itu mencium baunya, maka wanita itu telah dianggap melakukan zina dan tiap-tiap mata ada. (HR. Nasai)

4. Dada

Hendaklah mereka (perempuan) melabuhkan kerudung hingga menutupi bagian depan dada-dada mereka. (QS. An-Nur Ayat 31)

5. Gigi

Rasuulullaah melaknat perempuan yang mengikir gigi atau meminta supaya dikikirkan giginya (HR. At-Thabrani)

6. Muka dan leher

Dan tinggalah kamu (perempuan) dirumah kamu dan janganlah kamu menampakkan perhiasanmu seperti orang jahiliah dahulu.

keterangan bersolek (make-up) dan menurut maqatil sengaja membiarkan ikatan tudung yang menampakkan leher seperti orang jahiliah.

7. Pakaian yang tipis

Asma Binti Abu Bakar telah menemui Rasuulullaah dengan memakai pakaian yang tipis. Sabda Rasuulullaah: Wahai Asma! Sesungguhnya seorang gadis yang telah berhaid tidak boleh baginya menampakka anggota badan kecuali pergelangan tangan dan wajah saja (HR. Muslim dan Bukhari)

8. Tangan

Sesungguhnya kepala yang ditusuk dengan besi itu lebih baik daripada menyentuh kaum yang bukan sejenisnya yang tidak halal baginya. (HR. Tabrani dan baihaqi)

9. Mata

Dan katakanlah kepada perempuan mu’min hendaklah mereka menunudukkan sebagian dari pemandangannya. (surah an-Nur ayat 31)

Sabda nabi Shallallaahu 'alayhi wasallam, jangan sampai pandangan yang satu megikuti pandangan yang lain. Kamu hanya boleh pandangan pertama saja manakala pandangan seterusnya tidak dibenarkan hukumnya haram. (HR. Ahmad, abu daud, dan tarmizi)

10. Mulut (suara)

Janganlah perempuan itu terlalu lunak dalam berbicara sehingga berkeinginan orang ada yang perasaan serong dalam hatinya, tetapi ucapkanlah perkataan yang baik. (petikan surah al-Ahzab ayat 32)

Sabda Rasuulullaah Shallallaahu 'Alayhi Wasallam, Sesungguhnya akan ada umat ku yang minum arak yang mereka namakan dengan yang lain, yaitu kepala mereka dilalaikan oleh bunyi-bunyian (musik) dan penyanyi perempuan, maka Allah akan tenggelamkan mereka itu dalam bumi (Petikan dari Hadis Riwayat Ibn Majah.)

11. Kemaluan

Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan mu’min, hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kehormatan mereka. (petikan dari surah An-Nur ayat 31)

Apabila seorang perempuan itu shalat lima waktu, puasa dibulan ramadhan, menjaga kehormatannys dan suaminya, maka masuklah ia kedalam surga dari pada pintu-pintu yang ia kehendakinya. (HR. Al-bazar)

Tiada seorang perempuan pun membuka pakaiannnya bukan dirumah suaminya, melainkan dia telah membinasakan tabir antaranya dengan Allaah. (petikan HR. Tirmizi, abu daud, dan ibn majah)

12. Pakaian

Barang siapa memakai pakaian yang berlebih-lebihan terutama yang menjolok mata, maka Allaah akan memberikan pakaian kehinaan di hari akhirat nanti. (petikan HR. Abu daud, an-NASAII, dan ibn majah)

Petikan dari surah Al-Ahzab ayat 59. Bermaksud: hai nabi-nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuan dan kepada istri-istri orang mu’min, khendaklah mereka memakai baju jilbab (baju labuh dan longgar) yang demikian itu supaya mereka mudah dikenali lantaran itu mereka tidak di ganggu. Allaah maha pengampun lagi maha penyayang.

Sesungguhnya sebilangan ahli neraka ialah perempuan-perempuanyang berpakaian tetapi telanjang yang condong pada maksiat dan menarik orang lain untuk melakukan maksiat. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya. (petikan HR. Bukhari-muslim)

Keterangan: wanita yang berpakaian tipis/ jarang, ketat/ membentuk tubuh dan membelah/membuka bagian-bagian tertentu.

13. Rambut

Wahai anakku fatimah! Adapun perempuan yang akan digantung rambutnya hingga mendidih otaknya dalam neraka adalah mereka itu didunia tidak mau menutup rambutnya dari pada dilihat oleh lelaki yang bukan mahramnya. (petikan dari HR. Bukhari-muslim)

Semoga dengan menjaga 13 perkara di atas kita bisa menikmati indahnya surga yang kekal dan menjadi penghuninya.

Aamiin...

Wassalaamu 'alaikum

Bimbingan Ulama Seputar Bencana Hp Kamera dan Foto Kenangan

BENCANA SEPUTAR HP KAMERA DAN FOTO FOTO KENANGAN

Gambar bernyawa terlarang keras dalam syari'at Islam, dan larangannya bersifat umum, sehingga mencakup semua bentuk gambar, apakah digambar dengan tangan maupun dengan alat.

Sama saja apakah gambar atau foto itu disimpan, dipajang di dinding, dijadikan foto profil akun WA dan diupload ke medsos. Apalagi foto wanita yang dilihat oleh laki-laki yang bukan mahramnya, maka keharamannya bertambah.

➡ Perhatikanlah hadits yang mulia berikut Ini,

عَنْ عَائِشَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا اشْتَرَتْ نُمْرُقَةً فِيهَا تَصَاوِيرُ فَلَمَّا رَآهَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَامَ عَلَى الْبَابِ فَلَمْ يَدْخُلْ فَعَرَفَتْ فِي وَجْهِهِ الْكَرَاهِيَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ أَتُوبُ إِلَى اللهِ وَإِلَى رَسُولِهِ مَاذَا أَذْنَبْتُ قَالَ مَا بَالُ هَذِهِ النُّمْرُقَةِ فَقَالَتِ اشْتَرَيْتُهَا لِتَقْعُدَ عَلَيْهَا وَتَوَسَّدَهَا ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ – وَقَالَ – إِنَّ الْبَيْتَ الَّذِي فِيهِ الصُّوَرُ لاَ تَدْخُلُهُ الْمَلاَئِكَةُ

“Dari Aisyah radhiyallahu’anha, seorang istri Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, bahwasannya beliau mengabarkan kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, bahwa beliau telah membeli bantal yang padanya terdapat gambar-gambar bernyawa, ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melihatnya, maka beliau hanya berdiri di pintu, tidak mau memasuki rumah. Aisyah pun mengetahui ketidaksukaan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang tergambar pada wajah beliau, Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, aku kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, apakah dosaku?”

Beliau bersabda, “Untuk apa bantal ini?” Aisyah menjawab, “Aku belikan untuk engkau duduk di atasnya dan bersandar padanya.” Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya para pemilik gambar-gambar ini akan diazab pada hari kiamat dan dikatakan kepada mereka: Hidupkan yang telah kalian ciptakan.”

Dan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya rumah yang terdapat padanya gambar-gambar bernyawa tidak akan dimasuki oleh malaikat.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

➡ Sahabat yang Mulia Abu Juhaifah radhiyallahu’anhu berkata,

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ، وَثَمَنِ الكَلْبِ، وَكَسْبِ الأَمَةِ، وَلَعَنَ الوَاشِمَةَ وَالمُسْتَوْشِمَةَ، وَآكِلَ الرِّبَا، وَمُوكِلَهُ، وَلَعَنَ المُصَوِّرَ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang harga anjing, harga darah dan penghasilan budak wanita dari zina, dan melaknat wanita yang membuat tato dan meminta ditato, melaknat pemakan riba dan pemberi makannya, dan melaknat tukang gambar (yang bernyawa).” [HR. Al-Bukhari]

PERINTAH MERUSAK GAMBAR BERNYAWA DAN LARANGAN MEMILIKINYA

➡ Dalam hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu,

عَنْ أَبِى الْهَيَّاجِ الأَسَدِىِّ قَالَ قَالَ لِى عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ أَلاَّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالا إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

“Dari Abul Hayyaj Al-Asadi, ia berkata, Ali bin Abi Thalib berkata kepadaku, Aku akan mengutusmu sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah mengutusku: Janganlah engkau biarkan sebuah patung atau gambar bernyawa kecuali engkau hancurkan, dan kuburan yang ditinggikan kecuali engkau ratakan.” [HR. Muslim]

Kategori gambar bernyawa adalah gambar manusia dan hewan, dan gambar yang memiliki kepala walau tanpa badan, maka seandainya yang dirusak atau dihilangkan hanya bagian kepalanya saja, sudah tidak dihukumi sebagai gambar bernyawa. Jika terdapat kepala walau tanpa badan maka dihukumi sebagai gambar bernyawa. Maka sebaiknya dihindari penulisan pesan dengan emoticon yang berbentuk kepala.

➡ Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam bersabda,

الصورة الرأس فإذا قطع الرأس فلا صورة

“Gambar itu adalah kepala, jika kepalanya dihilangkan maka bukan gambar lagi. [HR. Al-Isma’ili dalam Mu’jamnya, dishahihkan Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 3864 dan Ash-Shahihah, no. 1921]

FATWA ULAMA TENTANG FOTO KENANGAN

➡ Asy-Syaikh Al-'Allamah Ibnu Baz rahimahullah berkata,

لا يجوز لأي مسلم ذكرا كان أم أنثى جمع الصور للذكرى أعني صور ذوات الأرواح من بني آدم وغيرهم بل يجب إتلافها

"Tidak boleh bagi seorang muslim pria maupun wanita untuk mengoleksi foto-foto kenangan. Maksudku foto-foto makhluk bernyawa, yaitu manusia dan lainnya, bahkan wajib untuk merusaknya." [Al-Fatawa, 4/225]

Tidak dipungkiri bahwa sebagian ulama tidak berpendapat bahwa foto itu termasuk gambar bernyawa, namun hadits-hadits di atas bersifat umum. Dan andaikan seseorang memilih pendapat ulama yang tidak menganggap foto sebagai gambar bernyawa sekali pun, maka tidak sepatutnya ia bermudah-mudahan dan bergampangan dalam perkara ini, dan hendaklah ia menempuh jalan yang lebih selamat.

➡ Asy-Syaikh Al-'Allamah Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata,

فلو أن شخصا صور إنسانا لما يسمونه بالذكرى، سواء كانت هذه الذكرى للتمتع بالنظر إليه أو التلذذ به أو من أجل الحنان والشوق إليه; فإن ذلك محرم ولا يجوز لما فيه من اقتناء الصور; لأنه لا شك أن هذه صورة ولا أحد ينكر ذلك وإذا كان لغرض مباح كما يوجد في التابعية والرخصة والجواز وما أشبهه; فهذا يكون مباحا

“Andai seseorang memotret orang lain yang biasa mereka namakan foto kenangan, sama saja foto kenangan ini agar senang atau gembira ketika melihatnya, ataukah karena sayang dan kangen kepadanya, maka itu haram dan tidak boleh, karena terkandung padanya kepemilikan gambar bernyawa, karena tidak diragukan lagi bahwa foto itu adalah gambar (bukan aslinya) dan tidak ada seorang pun yang mengingkari kenyataan tersebut. Dan apabila memotret untuk tujuan yang mubah, sebagaimana dalam aturan kependudukan, perizinan, imigrasi dan yang semisalnya, maka hukumnya mubah.” [Al-Qoulul Mufid, 2/440]

FATWA-FATWA ASY-SYAIKH AL-'ALLAMAH PROF. DR. SHALIH AL-FAUZAN HAFIZHAHULLAH SEPUTAR BENCANA HP KAMERA

➡ Fatwa Pertama :

السؤال يقول : كثر في الآونة الأخيرة جوالات الكاميرا ، وأصبحت في أيدي أبنائنا ، ويحصل فيما بين الشباب تناقل الصور والأفلام القبيحة ، نريد منك يا شيخ توجيه الآباء لمراقبة أبنائهم ، وكذلك المعلمين في المدارس ، وأيضا توجيه الأبناء ؟
الإجابة :هذا من الفتن ظهور هذه الجوالات ذات التصوير هذا من الفتن ، فعلى المسلم أن يتقي الله وأن يتجنب هذه الجوالات وأن يشتري من الجوالات التي ليس فيها تصوير ويشتري لأبنائه منها ويمنعهم من جوالات التصوير لأن هذا يجب عليك ، قال الله جلا وعلا: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ [التحريم : 6] والتصوير مما يسبب العذاب في النار قال صلى الله عليه وسلم : [ كل مصور في النار يجعل له بكل صورة صورها نفسا يعذب بها في جهنم ] والله جلا وعلا يقول : قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً فعليه أن يتقيَ الله في نفسه وفي أولاده ويمنع من الجوالات ذوات التصوير ويأخذ من الجوالات التي ليس فيها تصوير

Tanya: HP kamera semakin marak akhir-akhir ini, anak-anak kami pun sudah memilikinya, bahkan antara pemuda saling bertukar foto dan film-film seronok, kami harapkan dari engkau wahai Syaikh sebuah nasihat kepada para orang tua agar mengawasi anak-anak mereka, demikian pula kepada para guru di sekolah, dan juga pengarahan bagi anak-anak itu sendiri?

Jawab: Munculnya HP kamera termasuk bencana. Seorang muslim hendaklah bertakwa kepada Allah Ta’ala; menghindari HP seperti ini dan membeli HP tanpa kamera, baik untuk ia gunakan, maupun untuk anak-anaknya. Dan hendaklah ia melarang anak-anaknya menggunakan HP kamera. Karena wajib atasmu melarang mereka, Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ             

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” [At-Tahrim: 6]

Dan menggambar (makhluq bernyawa) termasuk sebab mendapatkan adzab di neraka. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ، يَجْعَلُ لَهُ، بِكُلِّ صُورَةٍ صَوَّرَهَا، نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ

“Setiap tukang gambar tempatnya di neraka, setiap apa yang dia gambar akan dijadikan ruh untuknya yang kemudian akan mengadabnya di jahannam.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Sedang Allah ta’ala telah berfirman, “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Maka hendaklah seorang muslim bertakwa kepada Allah dalam dirinya dan anak-anaknya; hendaklah ia melarang mereka menggunakan HP kamera dan menggantinya dengan HP tanpa kamera.

➡ Fatwa Kedua :

السؤال : وهذا سائل يقول: فضيلة الشيخ لدي جوال يحتوي على كاميرا فيديو وكـاميرا فوتوغرافية ، وأستخدمهـا في الخير إن شاء الله مثل تسجيل المحاضرات وغيرها ، وأصور بعض الأحيـان صورا لأطفـالي في البيت ، فما رأيكم حفظكم الله ؟
الإجابة : أما تسجيل المحاضرات وتسجيل القرآن هذا شيء طيب أما التصوير فهو باطل ما يجوز التصوير مايجوز حرام تصوير أولادك أو تصوير غيرك ، تصوير ذوات الأرواح حرام وملعون من فعله وهو من أشد الناس عذابًا يوم القيامة كما جاء في الأحاديث الصحيحة فعليك بتجنب التصوير

Tanya: Fadhilatus Syaikh, saya memiliki HP yang disertai kamera video dan foto. Aku menggunakannya dalam kebaikan insya Allah, seperti merekam ceramah agama dan lain-lain. Namun terkadang aku memotret anak-anakku dengan HP tersebut, bagaimana pendapatmu –hafizhakumullah-?

Jawab: Merekam ceramah agama dan Al-Qur’an adalah sesuatu yang baik. Adapun membuat gambar bernyawa, itu adalah kebatilan. Haram hukumnya memotret anak-anakmu atau pun makhluk bernyawa lainnya. Membuat gambar bernyawa haram, terlaknat orang yang melakukannya dan ia termasuk yang paling keras azabnya pada hari kiamat, sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits yang shahih. Maka hendaklah engkau menjauhi perbuatan itu.

➡ Fatwa Ketiga :

السؤال : ما حكم التصوير من جوال الكاميرا حيث يقول بعض الأشخاص بأنه مجرد حبس الظل وليس في ذلك أي شيء من التحريم فما حكم ذلك ؟
فأجاب حفظه الله :ليس فيه شيء من التحريم عنده أما عند السنة والأدلة فالتصوير بعمومه حرام وملعون المصور وهو أشد الناس عذابا يوم القيامة فما الذي يخرج الجوال من هذا ، الرسول حرم التصوير مطلقا بأي وسيلة : جوال ، كاميرا ، باليد ، بالرسم حرمه تحريما مطلقا ، فمن يستثني على الرسول صلى الله عليه وسلم ويستدرك على الرسول إلا أن العلماء المحققين استثنوا حالة الضرورة إذا احتاج الإنسان للتصوير للضرورة فيباح هذا من أجل الضرورة لقوله تعالى: وقَدْ فَصَّـلَ لَكُم مَّـا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إلَيْهِ [الأنعام : 119] أما التصوير للهواية والتصوير للفن التصوير بالكاميرا أو باليد أو بأي شيء فهو حرام ولا يجوز إلا للضرورة فقط بقدر الضرورة رخصة، رخصة من أجـل الضـرورة فقط .

Tanya: Sebagian orang beranggapan bahwa memotret dari HP kamera hanyalah sekedar menangkap bayangan dan tidak mengandung perbuatan menggambar yang diharamkan, bagaimanakah hukumnya?

Jawab: Tidak diharamkan menurutnya. Adapun menurut As-Sunnah dan dalil-dalil syar’i, hukumnya haram secara umum, pelakunya terlaknat dan paling keras azabnya pada hari kiamat. Maka apa yang mengecualikan HP kamera dari keumuman ini...!?

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengharamkan gambar bernyawa secara mutlak dengan sarana apa saja, baik dengan HP, dengan kamera, dengan tangan, maupun dengan alat lukis. Siapakah yang berhak memberikan pengecualiaan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam (yaitu dengan mengecualikan foto kamera, padahal haditsnya umum)...!? Dan siapakah yang boleh menambahkan sesuatu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam (yakni menganggap perkataan beliau masih kurang, sehingga perlu ia tambahkan)...!?

Kecuali untuk kebutuhan darurat, para ulama muhaqqiqin telah mengecualikan foto dalam keadaan darurat. Jika seseorang membutuhkan gambar bernyawa karena alasan darurat maka hal ini dibolehkan berdasarkan firman Allah ta’ala,

وقَدْ فَصَّـلَ لَكُم مَّـا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إلَيْهِ                

“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” [Al-An’am: 119]

Adapun menggambar obyek bernyawa karena hobi atau seni, baik dengan kamera, dengan tangan, atau dengan apa saja, maka hukumnya haram. Kecuali karena darurat saja yang diberikan rukhshoh (keringanan), itupun harus disesuaikan dengan kadar daruratnya.

[Dari Pelajaran Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah pada hari Senin 15 Syawwal 1427 H Pembahasan Tafsir Surat Al-Hujurat sampai An-Naas, dinukil melalui Mauqi’ Sahab]

Andai seseorang memilih pendapat ulama yang tidak menganggap foto sebagai gambar bernyawa pun, tetap saja tidak boleh memotret wanita dan memperlihatkan kepada selain mahramnya tanpa alasan darurat, apalagi diperlihatkan kepada semua lelaki di seluruh dunia melalui berbagai media.

AWAS DOSANYA AKAN SEMAKIN BESAR...!

Apabila foto-foto wanita ini tersebar maka tentu dosanya akan semakin besar, semakin luas tersebar semakin besar pula dosa yang harus ditanggung pembuatnya dan penyebarnya, dan siapakah yang sanggup menjamin tersebarnya foto Akhwat tidak akan memunculkan kemungkaran seperti zina mata, zina hati hingga zina kemaluan, baik zina kemaluan ini dilakukan dengan pemilik foto atau orang lain...?!

➡ Allah 'azza wa jalla berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang amat keji itu tersebar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [An-Nur: 19]

➡ Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى، كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

“Barangsiapa mengajak kepada hidayah, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa mengajak kepada kesesatan, maka ia mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu]

Semoga menjadi sebuah pencerahan untuk kita semua

Wassalam

Hukum Merayakan Ulang Tahun Dan Menerima Hadiahnya

Tanya jawab AQIDAH ISLAM tentang hukum merayakan ulang tahun dan menerima hadiahnya Soal : Apa hukum merayakan hari ulang tahun bagi anak-...