Assalaamu‘alaikum wr wb
To the point saja ustadz, Maaf... Saya mau bertanya tentang masalah pacaran yang mungkin sudah banyak yang membahas sebelumnya, namun saya sampai hati ini masih belum menemukan keterangan yang
menentramkan hati saya...
Terus terang saya sudah baca fiqh kontemporer karya Syekh Qordhawi juga “fatwa-fatwa kontemporer”nya Pak
Quraish Shihab yang menurut Yusuf Qardhawi hal itu hanyalah sesuatu yang tidak disukai [alias makruh] (beliau melarang namun tak berfatwa mengharamkan?), Sedangkan Pak Quraish malah membolehkan dengan asal dengan definisi yang wajar. Hal ini membuat saya
bingung.. Begitulah kiranya masalah ini selalu menjadi ganjalan di hati. Oleh karena itu kiranya ustadz berkenan untuk memberi pandangan lagi tentang masalah ini yang sarat dengan dalil dalilnya yang kuat.
Atas perhatian Ustadz saya ucapkan Jazakumullah khairon katsiiron.
(Abdullah Arif)
Jawaban Sang Ustadz:
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Apa yang diungkapkan oleh Quraisy Syihab itu agak terlalu berani meski beliau mengatakan bolehnya (tidak disukainya) pacaran itu harus dikaitkan dengan pengertian pacaran yang ada di Kamus.
Masalahnya, apakah tiap pasangan muda mudi yang lagi bermesraan itu sempat melihat kamus? Bahwa kalau begini dan begitu sudah termasuk pacaran dan kalau begini dan begitu belum? Lalu mengapa harus kamus yang dijadikan rujukan
sementar tukang becak di pinggiran jalan pun tahu apa itu pacaran dan apa saja agenda acaranya.
Sementara istilah pacaran itu sendiri sudah
merupakan kelaziman di tengah masyarakat dimana pasangan tidak sah melakukan serangkaian aktifitas bersama. Dan realitas ditengah masyarakat sudah mengenal persis aktifitas pacaran itu yang identik dengan apel malam minggu (namanya apel sudah pasti berduaan, karena kalau rame-rame namanya
rombongan), juga nonton ke bioskop berdua, berboncengan sepeda motor, jalan-jalan berduaan, makan di restoran berduaan, tukar menukar SMS, saling bertelepon siang dan malam dan semua aktifitas lain yang mengasyikkan. Intinya adalah ebersamaan dan berduaan. Hampir sulit ikatakan pacaran bila semua itu dilakukan bersama-sama dalam kelompok besar.
Bahkan hakikat pacaran adalah pada
keberduaannya itu. Inilah pacaran yang dikenal masyarakat dan bukan yang tertulis dalam kamus. Ketika seorang memberi fatwa, apakah dia harus bersembunyi di balik istilah baku yang hanya ada di kamus atau dia menjelaskan dengan bahasa
yang dikenal masyarakatnya? Ingatlah bahwa seorang nabi tidak diutus dengan bahasa alien tapi dengan bahasa umatnya agar jelas dan nyambung, tidak bolot. Orang ngomong kemana dia menjawab
yang lain.
Sebaiknya ketika mengeluarkan fatwa gunakan bahasa yang jelas dan tidak miring-miring yang hsnya akan menjadi salah tafsir para pendengarnya.
Wallahu a‘lam bishshowab.
Dan mohon postingan ini di share ke grup saudara saudari yaaa......
Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb
No comments:
Post a Comment